Bada Al Dukhul dan Qobla Al Dukhul

Bada Al Dukhul dan Qobla Al Dukhul dikenal sebagai istilah dalam hukum perceraian yang dilakukan secara Islam atau melalui Pengadilan Agama. Tidak ada definisi yang pasti mengenai perceraian dalam ketentuan perundang-undangan.

 

Perceraian dapat menjadi penyebab atau alasan putusnya perkawinan sebagaimana dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Sementara bagi umat Islam sendiri, ketentuan perceraian mengacu pada Pasal 113 sampai 148 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan teknis perceraiannya diatur dalam Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).

 

Saat perceraian menjadi solusi terakhir untuk sebuah pernikahan maka dalam hal ini terdapat dua keadaan yakni istri dalam keadaan qobla al dukhul dan ba’da al dukhul. Kedua keadaan ini menimbulkan akibat hukum yang berbeda ketika istri berada dalam masa iddah pasca talak yang dijatuhkan oleh suaminya.

 

Qobla al dukhul adalah keadaan dimana sepasang suami dan istri yang sudah sah menikah secara agama maupun negara namun keduanya belum melakukan hubungan badan selayaknya suami istri pada umumnya. Di sisi lain, ba’da al dukhul adalah keadaan dimana sepasang suami istri tersebut telah melakukan hubungan badan.[1]

 

Pertama, mengenai perceraian Qobla al dukhul termasuk dalam kategori talak ba’in sughra, artinya talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah. Akibat hukum atas perceraian dalam keadaan Qabla al dukhul adalah sebagai berikut:

  1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami isteri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.[2]
  2. Istri tidak mempunyai masa ‘iddah. Iddah diwajibkan pada istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan ba’da al dukhulyakni setelah sepasang suami istri tersebut berhubungan badan, sehingga iddah tidak diwajibkan pada istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan qabla al dukhul.
  3. Pemberian mut’ahbagi mantan istri. Mut’ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. Namun, mut’ah tidak wajib diberikan kepada istri yang diceraikan keadaan qabla al dukhul sebagaimana dalam Pasal 149 Huruf a KHI yang menyatakan bahwa:

memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul

 

Di sisi lain, perceraian dalam keadaan ba’da al dukhul termasuk dalam kategori talak raj’I, yang artinya talak yang dijatuhkan suami kepada istri dimana istri boleh dirujuk kembali sebelum masa iddah berakhir. Dengan demikian, suami masih diperbolehkan untuk merujuk istrinya dalam masa iddah tanpa perlu melakukan akad nikah baru, meskipun istrinya tersebut tidak rela. Rujuk yang dimaksud terjadi setelah jatuhnya talak satu dan dua raj’i, dan rujuk dilakukan sebelum berakhirnya masa iddah. Adapun jika masa iddah telah usai, talak raj’i berbalik hukumnya menjadi seperti talak ba’in dan suami tidak memiliki hak untuk merujuk istrinya yang telah ia talak kecuali dengan akad baru.[3]

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka diketahui bahwasanya terdapat beberapa akibat hukum yang ditimbulkan dari perceraian tersebut sebagai berikut:

  1. Dalam hal peminangan, seorang perempuan yang masih dalam masa iddah raj’i, dilarang hukumnya untuk dipinang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 Ayat (2) KHI yang berbunyi:

Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

  1. Suami yang melakukan perkawinan, dirinya tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj’i maka perkawinan tersebut batal sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Huruf a KHI yang berbunyi:

Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj’i.

  1. Suami berhak rujuk dengan istri yang telah dijatuhkan talak raj’i apabila masa iddah istri belum selesai. Namun, jika suami menjatuhkan talak raj’i dan tidak rujuk sampai masa iddah berakhir, maka istrinya haram baginya. Dalam hal ini, hubungan perkawinan mereka benar-benar sudah berakhir. Selain itu, istri berhak menolak apabila terjadi rujuk dengan mantan suaminya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 164 KHI yang berbunyi:

Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.”

  1. Istri berhak mendapatkan nafkah lahir

Istri yang menjalani masa iddah dalam talak raj’i, berhak mendapatkan nafkah lahir pada bekas suaminya.[4] Pemberian nafkah kepada istri akibat talak raj’i diatur dalam Pasal 149 huruf b KHI yang berbunyi:

Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil.”

 

Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara penceraian Bada Al Dukhul dengan Qobla Al Dukhul. Perbedaannya terlihat dari jenis talak yang dapat dikenakan dalam dari keadaan tersebut. Dengan adanya perbedaan kategori talak terhadap keadaan tersebut, maka akibat hukum yang ditimbulkan juga berbeda seperti yang telah dijelaskan di atas.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Rizka Maulidiyanti, Jazari, & Ach Faisol, Talak Qobla Dukhul Perspektif Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi’i (Studi Teks Kitab Fiqh Ala Madzahib Al Arba’ah), Hikmatina: Jurnal Ilmiah Hukum Keluarga Islam,

Volume 4 Nomor 3 Tahun 2022, halaman 291

[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, halaman 301

[3] Rifqi Qowiyul Iman & Joni, Talak Raj’i, dan Talak Ba’in Dalam Kajian Fiqih, https://www.pa-kudus.go.id/pdf/2022/ARTIKEL/15-Talak%20Bain%20dan%20Talak%20Raj’i%20Dalam%20Kajian%20Fiqih.pdf

[4] Peunoh Daly, Studi Perkawinan Islam, Suatu studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1998, halaman 375

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.