Asusila Dalam UU ITE

Asusila Dalam UU ITE

Dalam menanggulangi kejahatan di dunia maya atau elektronik, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Aturan tersebut merupakan respon terhadap globalisasi informasi, dimana perkembangannya telah membuat hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Selain itu, teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.

Salah satu perbuatan melawan hukum yang seringkali terjadi di dunia maya adalah penyebaran suatu informasi yang bermuatan asusila. UU ITE sendiri tidak mendefinisikan yang dimaksud asusila seperti apa.

Kesusilaan adalah moral atau sama dengan norma kesopanan, terutama di bidang seksual. Merujuk pendapat dari Leden Marpaung menjelaskan bahwa kata asusila berasal dari bahasa Inggris yang artinya moral, ecthis, decent. Dari ketiga kata tersebut, dapat diterjemahkan dengan arti berbeda. Seperti kata moral diterjemahkan dengan moril dan kesopanan. Sedangkan ethics diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent diterjemahkan dengan kepatutan.[1] Sementara menurut Andi Hamzah asusila adalah moral atau sama dengan norma kesopanan, terutama di bidang seksual.[2]

Dari rujukan tersebut dapat diketahui bahwa asusila mengandung unsur perbuatan yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan. UU ITE memberikan larangan dan pembatasan terhadap suatu konten yang bermuatan melanggar asusila atau kesusilaan sebagaimana yang dinyatakan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE yang berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Dengan tidak adanya definisi yang jelas dalam UU ITE mengenai kesusilaan, \ mengakibatkan kebingungan untuk mengetahui muatan-muatan yang melanggar kesusilaan. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Muladi berpendapat bahwa metode pendekatan dalam kebijakan kriminalisasi serta penalisasi dikaitkan dengan tindak pidana kesusilaan di dunia maya, harus dilakukan berdasarkan metode evolusioner (evolutionary approach), yaitu suatu metode yang memberikan perbaikan, penyempurnaan serta amandemen terhadap peraturan yang sudah lama, dalam hal ini ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut dengan mudah bisa dilaksanakan karena suatu perbuatan yang melanggar nilai kesusilaan dalam bentuk tindak pidana melalui dunia maya atau internet tidaklah termasuk dalam tindakan kriminalisasi baru, namun merupakan perbuatan tindak pidana yang sudah lama dan telah ada pada ketentuan KUHP. Akan tetapi, yurisdiksi dan ruang lingkupnya saja yang harus diperluaskan.[3]

Bentuk Kejahatan Asusila Dalam UU ITE

Kejahatan asusila diatur dalam Pasal 281 hingga Pasal 301 KUHP. Kejahatan-kejahatan yang diatur KUHP tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi). Berbicara kesusilaan tentunya harus merujuk ketentuan yang terdapat dalam UU Pornografi. Sebab ketentuan yang kesusilaan dalam UU ITE sangat berkaitan dengan UU Pornografi. Selain itu, UU Pornografi mengatur pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, dimana hal-hal tersebut sangat berkaitan dengan UU ITE. Adapun bentuk-bentuk konten yang bermuatan kesusilaan adalah sebagai berikut:

  1. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, yang dimaksud dengan menyimpang bukan hanya persenggamaan secara ilmiah atau normal, tetapi juga dapat berupa persenggamaan aktivitas seksual lainnya seperti lesbian maupun homoseksual.
  2. Kekerasaan seksual Pengertian dari kekerasan seksual, yaitu persenggamaan yang mana didahului dengan tindakan kekerasan atau penganiayaan atau mencabuli dengan paksaan.
  3. Masturbasi atau onani, proses keluarnya sperma dengan media tangan.
  4. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, yang dimaksud dengan mengesankan ketelanjangan adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara jelas
  5. Alat kelamin
  6. Pornografi anak, segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya mengacu pada muatan yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Pornografi dan KUHP. Digunakannya acuan tersebut disebabkan karena dalam UU ITE sendiri tidak mengatur seperti apa yang dimaksud dengan kesusilaan. Padahal Pasal 27 Ayat (1) UU ITE bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari tindak pidana yang berhubungan dengan pornografi. Sehingga sangat disayangkan apabila kesusilaan yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE tidak dijelaskan lebih lanjut untuk mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan. Sebab kerugian yang ditimbulkan terhadap korban sangat besar karena penyebarannya sangat mudah dan cepat untuk diakses oleh umum.

Rumusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE jelas dapat menimbulkan tafsir yang banyak, atau setidak-tidaknya dapat disebutkan bahwa terbuka berbagai macam tafsir dari ketidakjelasan maksud “informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Mengutip pendapat Barda Nawawi, Undang-Undang Khusus seyogyanya tidak hanya merumuskan tindak pidananya saja, tetapi juga membuat aturan umum yang dapat menjadi aturan payung. Namun terkait dengan pemidanaan terhadap tindak pidana kesusilaan di dunia maya terlihat bahwa pemerintah hanya memikirkan bagaimana aturannya dirumuskan, tetapi tidak memberikan penjelasan tentang apa yang diatur.[4]

Dengan demikian, rujukan Pasal 4 Ayat (1) UU Pornografi dan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dijadikan bahan rujukan untuk mengetahui bentuk asusila dalam UU ITE. Disamping itu, perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut atau sinkronisasi terhadap aturan yang mengatur mengenai kesusilaan. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadinya kebingungan dalam memaknai kesusilaan yang dimaksud Pasal 27 Ayat (1) UU ITE.

 

Penulis: Rizky Pratama J, S.H

Editor: Robi Putri J, S.H., M.H., C.T.L., C.L.A & Mirna Rahmaniar, S.H., M.H., C.C.D.

 

[1] Laden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 2

[2] Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, halaman 21.

[3] Ayu Anggriani & Ridwan Arifin, Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Kaitannya Dengan Kejahatan Mayantara Berdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Di Indonesia, Jurnal Hukum: Prioris, Volume 7 Nomor 1, September 2022, halaman 23

[4] L. Heru Sujamawardi, Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal Dialoga Iuridica, Volume 9 Nomor 2, April 2018, halaman 84-100

 

Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE; Asusila dalam UU ITE;

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.