Asas Hukum Hakim Wajib Mendengar Keterangan Kedua Belah Pihak

Asas Hukum Hakim Wajib Mendengar Keterangan Kedua Belah Pihak adalah salah satu asas dalam hukum acara. Asas hukum sendiri menurut Bellefroid adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Lebih lanjut, Scholten berpendapat asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi tidak boleh tidak harus ada. Dari berbagai pikiran-pikiran ahli, Sudikno Mertokusumo menyimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.

 

Fungsi asas hukum dalam hukum bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengesahkan karena mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim. Akan tetapi di samping itu fungsi asas hukum dalam hukum adalah melengkapi sistem hukum dan membuat sistem hukum luwes.[1]

 

Terdapat berbagai asas hukum namun di antara asas-asas hukum tersebut terdapat asas hukum yang bersifat universal, yang nilainya diakui oleh banyak negara. Salah satu asas hukum yang bersifat universal adalah asas hukum bahwa hakim wajib mendengar para pihak secara bersama-sama atau memberikan kesempatan yang sama untuk mendengarkan keterangan dari para pihak yang berperkara. Asas hukum tersebut dikenal dengan istilah audi et alteram partem yang merupakan istilah latin yang bermakna “dengarlah juga pihak lain” (audi=dengarlah, alteram=yang lain, partem=pihak).[2] Asas audi et alteram partem sering disebut juga “Audiatur at alters pars”, “Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede” atau “man soll sie horen alle beide”.[3] Dalam tradisi Anglo Saxon, asas audi et alteram partem dapat disamakan maknanya dengan “Nemo Inauditus Condemmnari Debet Si Non Sit Contumax”,  yang  bermakna  bahwa  sesorang  tidak  dapat  dihukum  sebelum orang tersebut diberi kesempatan untuk didengar keteranganya, pandanganya, pengakuanya, bantahanya, pembuktianya dan melakukan pembelaan diri kecuali memang orang tersebut enggan untuk memberikan pernyataan dan pembelaan.[4]

 

Asas hukum audi et alteram partem tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut ‘UU Kekuasaan Kehakiman’). Meski demikian, secara audi et alteram partem adalah suatu asas umum yang diberlakukan secara terus menerus secara universal[5] sehingga diterapkan dalam berbagai proses berperkara. Sebagai contoh, asas audi et alteram partem dapat ditemukan pada peraturan tentang hukum acara perdata yaitu pada Pasal 121 Ayat (1) dan (2) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan 145 at (1) dan (2) Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBG). Pasal 121 Ayat (1) dan (2) (yang intinya sama dengan Pasal 145 Ayat (1) dan (2) RBG) menyatakan:

  • Sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari, dan jamnya perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan.
  • Ketika memanggil tergugat, maka beserta itu diserahkan juga sehelai salinan surat gugat dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, dapat menjawab surat gugat itu dengan surat.

 

Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem hukum acara di Indonesia terdapat proses jawab menjawab antara pihak yang berperkara, hal tersebut merupakan salah satu penerapan dari asas audi et alteram partem, yaitu setiap pihak yang berperkara memiliki hak yang sama untuk memberikan keterangan. Hakim di sisi lain memiliki kewajiban untuk menerapkan asas hukum hakim wajib mendengar keterangan dari masing-masing pihak tersebut sebelum pada akhirnya menjatuhkan putusannya. Penerapan asas audi et alteram partem merupakan bagian perilaku adil hakim sebagaimana diatur pada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dan Ketua Komisi Yudisial (KY) Nomor: 047/KMA/SK/IV/2009 dan 02/SKB/ P.KY/ IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada 1.2 tentang Mendengar Kedua Belah Pihak yang menyatakan

  • Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.
  • Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

Sumber:

  1. Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
  2. Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (RBG);
  3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
  4. Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SK/IV/2009 dan 02/SKB/ P.KY/ IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
  5. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009;
  6. Achmad Ali, Sekelumit Tinjauan Tentang Hubungan Antara Azas Audi Et Alteram Partem Dengan Azas Azas Lainnya Dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 13, No. 6, 1998;
  7. Dwi Handayani, Kajian Filosofis Prinsip Audi Et Alteram Partem Dalam Perkara Perdata, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14 No. 2, Juli 2020; dan
  8. Emilka Nuradanta & Febby Mutiara Nelson, Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem Dalam Perkara Permohonan Pemberian Izin Poligami, Syntax Literate, Vol. 7 No. 6, Juni 2022.

 

 

[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 5-6.

[2] Achmad Ali, Sekelumit Tinjauan Tentang Hubungan Antara Azas Audi Et Alteram Partem Dengan Azas Azas Lainnya Dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 13, No. 6, 1998, hlm. 523.

[3] Ibid.

[4] Emilka Nuradanta & Febby Mutiara Nelson, Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem Dalam Perkara Permohonan Pemberian Izin Poligami, Syntax Literate, Vol. 7 No. 6, Juni 2022, hlm. 8482.

[5] Dwi Handayani, Kajian Filosofis Prinsip Audi Et Alteram Partem Dalam Perkara Perdata, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14 No. 2, Juli 2020, hlm. 388.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.