Asas-Asas dalam Hukum Pidana Berkaitan dengan Warga Negara Asing

Berkaitan dengan asas-asas hukum pidana terhadap Warga Negara Asing (WNA), maka berkaitan pula dengan berlakunya hukum pidana Indonesia berdasarkan waktu dan tempat terjadinya peristiwa.[1] Berdasarkan hal tersebut, maka berlaku asas-asas hukum pidana menurut waktu, tempat dan orang. Asas hukum pidana menurut waktu, yaitu asas legalitas sebagai asas yang palingg fundamental disertai asas non retro active. Kemudian asas hukum pidana menurut tempat, yaitu asas teritorialitas dan asas universalitas. Sedangkan dalam membahas berlakunya hukum pidana dari perspektif orang, yaitu asas personalitas, baik asas personalitas aktif maupun asas personalitas pasif. Pembahasan mengenai asas-asas tersebut, akan diuraikan sebagai berikut :

A. Asas legalitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menyatakan sebagai berikut :

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”

Contoh kasus mengenai penerapan asas legalitas yaitu kasus narkoba yang pernah terjadi pada artis Raffi Ahmad. Khat yang digunakan oleh Raffi Ahmad tidak disebutkan sebagai narkoba dalam peraturan perundang-undangan, sehingga Raffi Ahmad tidak dapat dipidana atas kasus tersebut.

B. Asas non retro active, yaitu asas yang termuat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa[2] :

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”

Contoh ilustrasi penerapan asas non retro active yaitu misal si A melakukan pencurian pada akhir tahun 2003, kemudian pada tahun 2004 ancaman sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan berubah menjadi lebih berat, dimana kasus pencurian si A masih dalam proses persidangan. Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka si A dapat dikenakan sanksi berdasarkan peraturan sebelumnya yang lebih meringankan si A.

Asas non retro active ini dikecualikan terhadap tindak pidana terorisme Bom Bali I yang terjadi pada tanggal 12 Oktober Tahun 2002 lalu. Saat itu, Indonesia belum mempunyai aturan pidana tentang pemberantasan terorisme, sehingga diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut Perppu Terorisme) untuk menjerat pelaku. Perppu Terorisme yang berlaku secara retroaktif (surut) menimbulkan pro-kontra karena bertentangan dengan prinsip asas legalitas. Namun, menurut Prof. Dr. Yudha Bhakti Ardiwisastra, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, asas legalitas pada intinya berisi asas Lex Temporis Delicti yang hanya memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat yang menjadi korban tindak pidana, sehingga akses untuk memperoleh keadilan bagi korban terutama korban kolektif menjadi terhambat. Berdasarkan hal tersebut, pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif penyeimbang asas legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan kiranya dapat diterima guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat.[3]

C. Asas teritorialitas, yaitu asas yang menganggap bahwa hukum pidana di Indonesia berlaku bagi siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia. Hal ini termuat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 2

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”

Pasal 3

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”

Contoh ilustrasi penerapan asas teritorialitas, yaitu misal A sebagai WNA menaiki Kapal berbendera Indonesia, kemudian melakukan perbuatan pidana berupa pencurian diatas Kapal, maka si A dapat dituntut dan diancam sanksi pidana berdasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia karena kapal yang berbendera Indonesia juga merupakan bagian dari yurisdiksi wilayah Indonesia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 KUHP.

D. Asas universalitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia, termasuk orang asing yang berada diluar Indonesia yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara di dunia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 angka 4 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

      1. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Contoh ilustrasi penerapan asas universalitas, yaitu misal kapal negara Indonesia berlayar jauh dari wilayah Indonesia, kemudian kapal tersebut dikuasai oleh bajak laut, maka berdasarkan asas universalitas pembajaknya dapat dijerat dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, tanpa melihat siapa dan apa kewarganegaraan pembajaknya.

E. Asas personalitas pasif (nasional pasif), yaitu asas yang memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia bagi siapa saja yang melakukan kejahatan yang mengakibatkan kerugian nasional sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

      1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
      2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
      3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan calon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
      4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.”

Contoh ilustrasi penerapan asas personalitas pasif yaitu misal si B seorang WNA berkebangsaan China melakukan percobaan pembunuhan yang mengakibatkan Presiden Indonesia yang sedang berkunjung ke negaranya terluka. Berdasarkan ilustrasi tersebut, perbuatan dilakukan diluar wilayah Indonesia dan dilakukan oleh WNA, namun korbannya adalah Presiden Indonesia, maka dalam hal ini berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Maka si B dapat diadili dan dituntut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 angka 1 juncto Pasal 104 KUHP

F. Asas personalitas aktif (nasional aktif), yaitu asas yang berlaku bagi warga Indonesia yang melakukan perbuatan pidana diluar wilayah Indonesia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :

    1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
      1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
      2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
    2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

Contoh ilustrasi penerapan asas personalitas aktif yaitu misal si C seorang WNI yang berada diatas Kapal berbendera Filipina bersekongkol dengan si D dari negara Filipina untuk melakukan pembajakan tanpa Izin Pemerintah Indonesia, maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 450 KUHP.

Cara penuntutan terhadap WNA yang dituntut pidana berdasarkan atas hukum Indonesia yaitu dengan melakukan penyidikan, penyelidikan, penangkapan, proses pemeriksaan, penahanan, dan pemidanaan seperti pada umumnya sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (selanjutnya disebut KUHAP). Terhadap WNA tersebut juga diberikan hak menunjuk Pengacara untuk mendampinginya, serta penegak hukum Indonesia akan memberitahukan Perwakilan Negara/Kedutaan WNA tersebut yang berada di Indonesia.

[1] I Ketut Mertha, dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, Denpasar : Universitas Udayana, 2016, hal. 39

[2] Ibid, hal. 43

[3] Dhika Paskah Adi Putri, Analisis Penerapan Asas Retroaktif Dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/PN.Dps Terkait Kasus Tindak Pidana Terorisme Bom Bali 1, Jurnal Recidive, Vol. 2, No. 1, April 2013, Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 79

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.