Mengungkap Asal Muasal Majelis Hakim Terdiri Atas 3 Orang

1. Asal Muasal Majelis Hakim Terdiri Atas 3 Orang
Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutya disebut ‘UU Kekuasaan Kehakiman’) menyatakan, “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.” Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai alasan yang melatarbelakangi jumlah minimum susunan majelis hakim tersebut, namun penentuan majelis hakim sekurang-kurangnya terdiri atas 3 orang adalah standar yang digunakan di pengadilan berbagai negara.
Awalnya, dalam penentuan bersalah atatu tidak bersalahnya seseorang tidak dilakukan oleh hakim. Berdasarkan catatan dari berbagai sejarah, penentuan bersalah atau tidaknya seseorang dan penghukumannya ditentukan oleh raja atau pemimpin dari golongan. Sebagai contoh pada masa raja-raja Fir’aun (Pharaohs), Raja Fir’aun berwenang untuk menetapkan keputusan atas suatu permasalahan, misalkan pada persengketaan Khay dan Nubnofret. Terdapat pula kisah Raja Sulaiman yang ketika itu hadir padanya dua orang wanita yang sama-sama mengaku sebagai ibu dari seorang anak.[1]
Di Inggris, sekitar tahun 1066, keadilan atas perkara merupakan kewenangan kombinasi dari pemerintahan lokal dan kerajaan. Pengadilan lokal dipimpin oleh seorang raja atau salah satu pengurusnya. Hingga akhir abad ke-12, bersalah atau tidaknya suatu perkara pidana ditentukan melalui proses ‘trial by ordeal’. Dalam sistem tersebut, terdakwa akan menjalani ‘cobaan’ yang menyakitkan dan berbahaya. Mereka mungkin dipaksa untuk mengambil sebatang besi panas, mengambil batu dari kuali berisi air mendidih, atau sesuatu yang sama menyakitkannya. Jika tangan mereka mulai sembuh setelah tiga hari, mereka dianggap memiliki Tuhan di sisi mereka, sehingga membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.[2] Praktek trial by ordeal rupanya tidak hanya berlaku di Inggris melainkan banyak dianut oleh negara-negara Eropa Barat khususnya di era Romawi.[3]
Pada abad kedua belas, terdapat penemuan kembali kompilasi hukum Romawi karya Justinianus oleh para ahli hukum Italia yang menghasilkan ilmu hukum baru di Eropa. Ilmu pengetahuan baru tersebut berkembang dan terus berkembang menjadi apa yang dikenal sebagai ius komune, sebuah tradisi hukum bersama yang menggabungkan hukum Romawi dan hukum kanonik ke dalam sistem pemikiran hukum yang sama, yang di setiap negara atau wilayahnya dipengaruhi oleh hukum dan adat istiadat setempat.[4] Hakim pertama di Inggris, pada abad kedua belas, adalah pejabat pengadilan yang memiliki pengalaman khusus dalam memberikan nasihat kepada Raja mengenai penyelesaian perselisihan.[5]
Tidak ditemukan secara khusus kapankah sistem susunan majelis hakim yang terdiri atas tiga orang hakim mulai diberlakukan dan menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Akan tetapi, sistem pembuktian yang berbasis humanisme mulai berkembang pada abad kedua belas setelah masyarakat Eropa Barat mulai tertarik dengan penemuan kompilasi hukum Romawi karya Justinianus. Humanisme hukum mencapai puncaknya pada masa para ahli hukum Belanda pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, yang membawa wawasan baru dalam pemeriksaan sumber-sumber Romawi sambil melakukan inovasi pendekatan terhadap studi dan sintesis hukum adat setempat dalam kerangka Romawi klasik. Pada masa-masa tersebut, sistem pembuktian mulai menekankan pada relevansi pembuktian. Masa-masa tersebut juga adalah masa di mana banyak muncul pandangan-pandagan ahli hukum yang berpengaruh hingga saat ini.[6]
Dengan berkembangnya humanisme hukum, pandangan-pandangan ahli hukum dan mulai diliriknya peran dari hakim, maka dimungkinkan asal muasal majelis hakim terdiri atas 3 orang adalah buah dari pertimbangan bahwa keadilan tidak mungkin bisa ditentukan oleh kehendak satu orang saja sebagaimana era-era sebelumnya di mana keadilan ditentukan oleh keputusan seorang raja atau sistem ‘trial by ordeal’. Hakim memiliki kedudukan yang berbeda dengan Tuhan dan raja, sehingga kebijaksanaan yang berasal dari hakim tentunya memiliki nilai yang berbeda dengan kebijaksanaan yang datang dari Tuhan dan raja.
Dari sistem hukum yang berkembang di Eropa tersebut, menyebar ke negara-negara jajahannya termasuk di antaranya Indonesia. Lukisan Belanda pada tahun 1600-an (Joost de Damhoudere, Practycke in criminele saken…, 1650) menunjukkan sistem hukum Belanda yang diekspor ke wilayah jajahannya didominasi oleh tradisi Romawi-Belanda pada saat itu. Kodifikasi hukum Belanda berdasarkan hukum perdata Perancis menggantikan sistem modern awal di Belanda pada tahun 1809. Namun, hukum Romawi-Belanda tetap menjadi bagian dari sistem hukum di banyak negara lain seiring peralihan dari pemerintahan kolonial Belanda ke Inggris hingga kemerdekaan. Hukum tersebut terus menjadi sumber hukum hingga saat ini, salah satunya di Indonesia.[7]
2. Sebenarnya Boleh Kurang Atau Lebih Dari 3 Orang
Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, sebenarnya tidak ada kewajiban majelis hakim harus terdiri atas sekurang-kurangnya tiga orang, dengan ketentuan terdapat undang-undang yang menentukan lain. Sebagai contoh adalah pada persidangan di Mahkamah Konstitusi yang mana Majelis Hakimnya terdiri atas sembilan orang. Contoh lainnya pada perkara permohonan atau gugatan voluntair, dimana hakimnya hanya terdiri atas satu orang.
Dalam hukum acara pidana, keberadaan hakim yang berjumlah tiga orang dapat membantu dalam hal majelis hakim tidak memperoleh keyakinan bulat bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi walaupun telah terdapat setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah. Ketika majelis hakim tidak memperoleh keyakinan secara bulat, maka langkah yang diambil majelis hakim adalah melakukan voting di antara majelis hakim dan menentukan putusan berdasarkan suara terbanyak.[8] Dengan demikian, jumlah tiga orang hakim merupakan suatu upaya menghindari hasil musyawarah yang tidak menghasilkan titik temu.
Anda bercita-cita menjadi hakim? Anda dapat mencoba latihan soal terkait kekuasaan kehakiman disini.
Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.
Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2020;
- https://www.judiciary.uk/about-the-judiciary/history-of-the-judiciary-in-england-and-wales/history-of-the-judiciary/; dan
- https://www.law.berkeley.edu/research/the-robbins-collection/exhibitions/roman-dutch-legal-tradition-2/.
[1] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2020, hlm. 10.
[2] https://www.judiciary.uk/about-the-judiciary/history-of-the-judiciary-in-england-and-wales/history-of-the-judiciary/
[3] Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 22.
[4] https://www.law.berkeley.edu/research/the-robbins-collection/exhibitions/roman-dutch-legal-tradition-2/
[5] judiciary.uk, Loc. Cit.
[6] law.berkeley.edu, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] 182 Ayat (6) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanEksekusi Putusan Bebas dan Lepas Dari Segala Tuntutan
Resensi Buku Hukum Orang dan Keluarga Oleh R. Soetojo...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.