Apa itu Klausula Baku dan Batasan-batasannya
Kehidupan sehari-hari tidak jauh dari perjanjian, dimana satu orang mengikatkan dirinya kepada orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Perjanjian tersebut sangat penting, mengingat satu orang atau satu subyek hukum tidak mungkin memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Sebagai contoh, A tidak mungkin memenuhi kebutuhannya sendiri terkait dengan rumah, yang bersangkutan pasti menggunakan jasa atau bahkan membeli bahan dari pihak lain agar rumahnya dapat terbangun. Begitu pula dengan pemenuhan perekonomian, suatu perusahaan tentu harus membuat perjanjian dengan pihak lain baik itu pelanggan maupun supplier untuk mendapatkan keuntungan. Adapun syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana syarat sah tersebut harus dipenuhi dan apabila tidak dipenuhi maka berakibat perjanjian batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Pada dasarnya perjanjian memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuatnya selama dibuat sesuai dengan hukum dan memenuhi syarat keabsahan sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata. Meski demikian, untuk mempersingkat waktu dan dengan dalih efisiensi bisnis, tidak jarang para pelaku bisnis menggunakan suatu perjanjian yang telah dibuat bentuk dan isinya sehingga pihak lain hanya perlu menandatangani jika menyetujuinya, atau tidak menandatangani perjanjian tersebut jika tidak menyetujuinya, yang biasa disebut sebagai klausula baku.
Pengaturan tentang klausula baku terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 1 Angka 10 menyatakan bahwa:
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”
Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui bahwa di dalam klausula baku yang dibuat, terdapat unsur keharusan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak dalam rangka pemenuhan atas aturan yang ada di dalam perjanjian tersebut. Dalam klausula baku yang isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak, maka prinsip-prinsip hukum perjanjian yang terdapat di dalam hukum perjanjian seakan terabaikan, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya negosiasi dalam klausula baku serta posisi tawar salah satu pihak juga lemah. Aturan hukum di Indonesia telah mengatur terkait dengan klausula baku yang biasanya digunakan di dalam hubungan bisnis atau perjanjian. Pasal 18 UU 8/1999 menyatakan klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila :
- menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
- menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
- menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
- menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
- mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
- memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
- menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelakuusaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
- menyatakan bahwa konsumen member kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selain itu, dalam aturan yang terdapat didalam Pasal 18 ayat (2) UU 8/1999 menyebutkan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.”
Sebagai contoh kontekstualisasi klausula dan perjanjian baku, penting melihat pandangan majelis hakim yang memutus perkara No. 267 K/Pdt.Sus/2012. Majelis tidak melihat adanya perbedaan penting antara klausula baku dengan perjanjian baku. Padahal, pada proses di BPSK tergugat sudah mencoba membangun argumentasi tentang perbedaan perjanjian baku dengan klausula baku. Perjanjian yang dipersoalkan para pihak adalah perjanjian baku sedangkan yang diatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah klausula baku.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPengesampingan/Pengecualian Pasal 1266 Burgerlick Wetboek (BW) dalam Perjanjian
Pengelolaan Barang Milik Negara
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.