Apa itu Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian?

Dalam pembuatan perjanjian terdapat kaidah-kaidah umum yang dijadikan landasan baik dari segi etis, moral dan sosial masyarakat. Kaidah-kaidah umum tersebut dikenal sebagai asas-asas hukum perjanjian, termasuk di antaranya asas konsensualisme. Apa itu asas konsensualisme? Dalam artikel kali ini, kita akan membahas asas konsensualisme termasuk dasar hukumnya.

Apa itu Asas Konsensualisme?

Asas konsensualisme yaitu bahwa dalam perjanjian terdapat kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan di antara para pihak terhadap perjanjian.[1]

Dalam suatu perjanjian harus ada kehendak masing-masing pihak yang membuat perjanjian untuk mencapai kata sepakat atau konsensus.[2] Tidak seperti peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa dan mau tidak mau harus ditaati, keberlakuan  perjanjian haruslah didasari adanya kehendak dari para pihak.

Dasar Hukum Asas Konsensualisme

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyebutkan, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Berdasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat syarat sah perjanjian yaitu:

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat subyektif perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat obyektif perjanjian. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif menjadikan perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian menjadikan perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dengan demikian, kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian adalah syarat mutlak yang harus ada agar perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang (mengikat) bagi yang membuatnya.

Adanya persesuaian kehendak di antara pihak yang membuat perjanjian merupakan inti dari hukum perjanjian tersebut. Akan tetapi adanya pernyataan kehendak tidak semata-mata dapat dianggap sebagai adanya kesepakatan, karena mungkin saja kehendak tersebut diberikan secara cacat (wilsgebreke).

Cacat Kehendak (Wilsgebreke) Menyebabkan Perjanjian Tidak Sah

Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, “tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”

Kekhilafan/kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) adalah merupakan cacat kehendak, yang mana menyebabkan perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kekhilafan/kesesatan (dwaling) diatur pada Pasal 1322 KUH Perdata yang menyatakan:

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.”

Kekhilafan/kesesatan yang dikaitkan dengan keadaan akan datang, karena kesalahan sendiri atau berdasarkan perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi risiko sendiri, adalah alasan-alasan yang tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian.[3]

Oleh karena itu kekhilafan/kesesatan harus dibuktikan dengan adanya pengetahuan dari pihak lawan mengenai sifat atau keadaan yang menimbulkan kekhilafan/kesesatan tersebut.

Paksaan (Pasal 1323-1327 KUH Perdata) timbul apabila seseorang tergerak untuk menyepakati perjanjian di bawah ancaman yang melanggar hukum.[4] Paksaan itu tidak harus dari pihak lawan dalam perjanjian, melainkan bisa juga berasal dari pihak ketiga (Pasal 1323 KUH Perdata).

Pasal 1324 KUH Perdata menyatakan, “paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.”

Penipuan (bedrog) adalah tindakan sedemikian rupa dari salah satu pihak, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan (Pasal 1328 KUH Perdata).

Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir yang artinya dapat dikatakan penipuan apabila ada gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan)  ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan.[5]

Dengan demikian, meski pun secara tegas dinyatakan dalam perjanjian bahwa para pihak sepakat, akan tetapi apabila dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur kekhilafan, paksaan mau pun penipuan dalam pembuatan perjanjian tersebut, maka perjanjian menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subyektif perjanjian.

 

Sumber:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
  2. Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010; dan
  3. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2008.

Baca juga:

Penyalahgunaan Keadaan Dalam Perjanjian

Prinsip Proporsional dalam Perjanjian

Apa Itu Klausula Baku dan Pengaturan Hukumnya

Tonton juga:

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., C.T.L., C.L.A.

 

[1] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 121

[2] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 118.

[3] Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hlm. 171.

[4] Ibid.

[5] Ibid, hlm. 171-172.

 

Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme | Apa itu Asas Konsensualisme

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.