Ancaman Pidana Bagi Pelaku Penghinaan Terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden

Penghinaan merupakan sebuah kejahatan sebagaimana ketentuan dalam Bab XVI tentang Penghinaan Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Khusus penghinaan terhadap presiden sebelumnya diatur dalam ketentuan Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUHP yang menyatakan :

Pasal 134

Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 136 bis

Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Pasal 137

    1. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
    2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Namun, ketentuan dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006. Berdasarkan pertimbangannya Hakim Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UU 45). Ketentuan dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dianggap berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta dapat pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap apabila Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP digunakan aparat dalam momentum unjuk rasa di lapangan. Selain pertimbangan tersebut, Hakim Konstitusi juga mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP merupakan delik umum sehingga semua orang dapat melaporkan suatu perbuatan yang dianggap sebagai penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan hal tersebut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Setelah dicabutnya ketentuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP kemudian terjadi kekosongan hukum terkait kejahatan penghinaan terhadap presiden. Oleh karena itu berdasarkan atas pendapat ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa tidak perlu ada delik penghinaan khusus terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan cukup dengan adanya ketentuan Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP. Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006 menyatakan :

   “Menimbang bahwa oleh karena itu delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310- Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager);

Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).”

Berdasarkan hal tersebut, apabila terjadi penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilaporkan oleh umum, tetapi hanya dapat di tindak jika hal tersebut dilaporkan oleh pihak yang bersangkutan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 319 KUHP. Pasal 319 KUP menyatakan bahwa :

“Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316”

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIII/2015 frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” dibatalkan karena berpotensi memberikan kemudahan bagi pejabat untuk melaporkan suatu penghinaan, serta Mahkamah Konstitusi berpendapat tidak relevan lagi untuk membedakan pengaturan penghinaan terhadap pejabat negara atau pegawai negeri merupakan delik umum, sedangkan penghinaan terhadap masyarakat umum merupakan delik aduan.

Atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIIII/2015 maka Pasal yang berlaku apabila terjadi penghinaan terhadap Presiden yaitu ketentuan dalam Pasal 207, Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP. Pasal 207 dan Pasal 310 KUHP menyatakan bahwa :

Pasal 207

Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 310

    1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
    2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
    3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

 

Apabila penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan melalui media sosial, maka pelaku dapat dijerat dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal  45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Ancaman pidana penghinaan dalam UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.