Alat Rapid Test Antigen Bekas Kimia Farma

Baru-baru ini dunia kesehatan Indonesia dibuat gempar oleh dugaan penggunaan alat rapid test antigen daur ulang oleh oknum PT. Kimia Farma (Persero) di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara.[1] Atas dugaan kasus tersebut, Polisi menetapkan 5 (lima) orang tersangka yaitu Plt Business Manajer Laboratorium Kimia Farma Medan (PM), Kurir Laboratorium Kimia Farma Medan (SR), Customer Service Laboratorium Kimia Farma (DJ), Admin Laboratorium Kimia Farma (M), dan Karyawan Tidak Tetap bagian Admon Hasil Swab Test Antigen (R).[2] Modus dalam perkara ini yaitu laporan palsu jumlah pasien tes antigen ke Pusat Kantor Laboratorium Kimia Farma.[3] Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Panca Putra menjelaskan bahwa rata-rata pasien tes yang dilayani di Bandara Kualanamu sekitar 250 orang per hari, namun yang dilaporkan hanya sekitar 100 orang dan sisanya merupakan keuntungan dari hasil penggunaan antigen bekas.[4] Rata-rata hasil keuntungan yang didapat oleh PM yaitu sekitar Rp 30 juta per hari.[5] Pelayanan rapid test antigen bekas tersebut sudah dilakukan sejak bulan Desember Tahun 2020 yang lalu. Kelima oknum yang terlibat telah ditetapkan sebagai tersangka dijerat dengan Pasal 98 ayat (3) juncto Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan).[6]

Pada dasarnya Pasal 98 ayat (1) UU Kesehatan menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau, yang kemudian hal tersebut diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 98 ayat (3) UU Kesehatan yang menyatakan sebagai berikut :

“Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

Terkait dengan penggunaan alat rapid test antigen diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/446/2021 tentang Penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen Dalam Pemeriksaan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (selanjutnya disebut Kepmenkes 01/2021). Salah satu yang menjadi aturan penggunaan yaitu larangan penggunaan kembali alat rapid test antigen yang telah digunakan sebagaimana dijelaskan dalam Lampiran Angka 5 huruf c berkaitan dengan Pengelolaan Spesimen RDT-Ag Kepmenkes 01/2021. Dalam Kepmenkes 01/2021 bagian ketiga menyatakan bahwa penggunaan Rapid Diagnostic Test Antigen dalam pemeriksaan COVID-19 harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

    1. kriteria pemilihan;
    2. kriteria penggunaan;
    3. alur pemeriksaan;
    4. fasilitas pemeriksaan dan petugas pemeriksa;
    5. pengelolaan spesimen;
    6. keselamatan hayati (biosafety);
    7. pencatatan dan pelaporan;
    8. penjaminan mutu pemeriksaan; dan
    9. pengelolaan limbah pemeriksaan.

Akibat dari pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 196 UU Kesehatan yang menyatakan sebagai berikut :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan hal tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi atas pelanggaran Pasal 98 ayat (3) juncto Pasal 196 UU Kesehatan diantaranya yaitu :

    1. Adanya subyek hukum;
    2. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :
      1. Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu;
      2. Melakukan pengadaan, penyimpananm pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah;
    3. Diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kejahatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 98 ayat (3) juncto Pasal 196 UU Kesehatan bukan termasuk delik aduan melainkan delik biasa yang dapat dilaporkan oleh siapa saja walaupun bukan korban atas kejahatan tersebut. Atas kasus yang dilakukan oleh oknum Kimia Farma, maka dapat dikatakan bahwa pelaku yang melakukan daur ulang terhadap alat rapid test antigen melakukan kejahatan atau tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 98 juncto Pasal 196 UU Kesehatan, karena dalam Kepmenkes 01/2021 secara jelas dinyatakan untuk tidak menggunakan kembali alat rapid test yang telah digunakan.

Perlu diketahui pula bahwa dalam kasus tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh tersangka terkait pemalsuan jumlah data pasien tes antigen berpotensi dikenai pasal penggelapan dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) yang menyatakan bahwa :

Pasal 372 KUHP

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 3 UU Tipikor

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah”

Perbuatan yang dilakukan oleh tersangka dalam melakukan daur ulang alat rapid tes dapat diduga termasuk sebagai perbuatan melawan hukum sehingga dapat dianggap sebagai perbuatan penggelapan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 372 KUHP. Dugaan pemalsuan data pasien juga dapat berakibat laporan pendapatan tidak sesuai dengan fakta atau lebih kecil daripada yang sebenarnya sehingga dapat berpotensi merugikan keuangan negara mengingat PT Kimia Farma adalah BUMN/Persero yang mana sebagian modalnya berasal dari keuangan negara dan keuntungannya berpotensi sebagai pendapatan negara. Untuk kelanjutan atas kasus tersebut, hendaknya kita menunggu proses pemeriksaan dan proses peradilan oleh pihak yang berwenang.

 

[1] https://industri.kontan.co.id/news/ini-janji-kimia-farma-setelah-terungkapnya-kasus-alat-tes-antigen-daur-ulang

[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210430061457-12-636701/manajer-kimia-farma-raup-30-juta-per-hari-dari-antigen-bekas

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.