Alat Bukti CCTV dan/atau Rekaman
Perkembangan teknologi yang semakin modern sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan manusia, salah satunya yaitu dalam hal penegakan hukum. Saat ini, dalam penegakan hukum juga diakui adanya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang menyatakan sebagai berikut :
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah;
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE menyatakan sebagai berikut :
Ayat (1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik
Ayat (2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang
Berdasarkan hal tersebut, maka Informaasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya diakui sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia. Namun, perlu kita pahami pula cakupan hal yang dimaksud sebagai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE. Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik adalah sebagai berikut :
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”
Sedangkan,
“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka CCTV dan/atau Rekaman termasuk sebagai Informasi Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE.
Keabsahan CCTV sebagai alat bukti memiliki sejarah perubahan makna sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Tanggal 07 September 2016 (selanjutnya disebut Putusan MK 20/2016), kedudukan CCTV sebagai alat bukti elektronik yang sah menjadi terbatas.[1] Pemohon dalam Putusan MK 20/2016 adalah Setya Novianto yang merupakan pelaku tindak pidana korupsi “papa minta saham” pada Tahun 2015 yang lalu. Pemohon melakukan judicial review terhadap ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor). Bahwa dalam putusannya, Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan untuk sebagian yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD ’45) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “Informasi Elektronik dan/Dokumen Elketronik” dalam pasal tersebut tidak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Adanya Putusan MK 20/2016 tersebut menjadikan landasan adanya perubahan penjelasan Pasal 5 dalam UU ITE, khususnya dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan CCTV dan/atau Rekaman dalam hal penyadapan dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU ITE.
[1] Takasya Angela Tanauw Khristanto, Kedudukan Hukum CCTV Sebagai Alat Bukti Elektronik Setelah Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Tanggal 07 September 2016, Jurnal Hukum, Vol. 6, No. 2, Jakarta Timur : Universitas Kristen Indonesia, Agustus 2020, hal. 146
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.