Alasan Perceraian Lian Berdasar Hukum Indonesia

Alasan Perceraian Lian Berdasar Hukum Indonesia memiliki perbedaan dengan alasan-alasan perceraian lainnya dalam Islam. Akar kata li’an adalah la’nun yang berarti kutukan, dapat juga berarti jauh.

 

Menurut Hukum Islam li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina dengan disertai 4 (empat) kali kesaksian bahwa suami benar dalam tuduhannya dan pada kesaksian yang kelima disertai dengan kesediaannya untuk menerima laknat Allah jika ternyata dia berbohong dalam tuduhannya.[1] Banyak kasus perceraian yang terjadi karena alasan-alasan remeh, sehingga perceraian dengan alasan li’an penting untuk dibahas.

 

Pembuktian dalam li’an sangat sulit sekali, karena berkaitan dengan zina dan dapat dijadikan sebagai sekedar alasan bagi suami untuk berpisah dari istrinya meski tuduhan tersebut tidak benar. Hukum li’an bagi suami yang yakin dengan dugaannya atas kebenaran dari tuduhannya adalah mubah atau boleh. Namun apabila suami ragu akan dugaan atas kebenaran dari tuduhannya, maka hukum li’an haram baginya.[2]

 

Sementara itu, apabila Istri merasa yakin, bahwa tuduhan yang dilemparkan suaminya kepada dirinya tidak benar, maka ia boleh menyangkal tuduhan itu dengan cara li’an pula seperti yang tersebut dalam Al-Qur’an Surah An-Nuur ayat 8 dan 9:

Dan Istri itu terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas nama Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang orang yang berdusta.” (An-nuur ayat 8).

Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (An-nuur ayat 9).

 

Adapun tujuan dari diperbolehkannya li’an tersebut adalah untuk memberikan kemudahan kepada suami yang yakin akan kebenaran tuduhan zina yang dilakukannya, dimana secara hukum formal suami tidak dapat berbuat apa-apa dalam membuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, hak mengajukan perceraian karena li’an ini adalah untuk melepaskan ancaman dari suami yang yakin akan kebenaran tuduhannyanya, dimana hukum formal tidak dapat membantunya.[3]

 

Ketentuan li’an dapat dilihat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun mengenai tata cara li’an sendiri diatur dalam Pasal 127 KHI yang menyatakan bahwa:

Tata cara li’an diatur sebagai berikut:

  1. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”
  2. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
  3. Tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
  4. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.

 

Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Dalam KHI tidak dijelaskan mengenai akibat hukum li’an, sehingga merujuk pendapat Mohd. Idris Ramulyo, terdapat beberapa akibat hukum perceraian dengan alasan li’an diantaranya sebagai berikut:

  1. Suami terhindar dari hukuman menuduh zina (qadzaf);
  2. Dilakukan hukuman zina terhadap istri;
  3. Hubungan perkawinan menjadi putus, yang juga diatur dalam Pasal 125 KHI bahwa Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya;
  4. Anak yang lahir tetap bukan anak suami, hanya bernasab kepada ibunya;
  5. Istri haram selamanya terhadap suami, tidak dapat kembali hidup bersuami-istri
  6. Pihak istri hanya dapat terhindar dari hukuman li’an setelah suami menyatakan sumpah, apabila istri bersedia menyatakan sumpah li’an

 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa putusnya perkawinan tidak hanya karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan melainkan juga Li’an. Alasan Perceraian Lian Berdasar Hukum Indonesia menyebabkan putusnya perkawinan suami-istri selama-lamanya. Selain itu, akibat lain yang ditimbulkan adalah suami-istri tersebut tidak dapat rujuk untuk selama-lamanya serta putusnya nasab anak dalam kandungan tersebut terhadap bapaknya.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, halaman 1009

[2] Muh. Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, halaman 158

[3] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.