Alasan Penghapus Pidana

Seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana karena 2 (dua) alasan yaitu adanya tindak pidana dan adanya kesalahan baik karena sengaja (dolus) maupun kealpaan (culpa). Unsur-unsur kesalahan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana yaitu karena

    1. adanya kemampuan bertanggung jawab
    2. adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya (mens rea), dan
    3. tiadanya alasan penghapus kesalahan (strafuitsluitingsgronden).[1]

Alasan penghapus kesalahan atau disebut juga dengan alasan penghapus pidana merupakan alasan-alasan yang memungkinkan seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana walaupun secara nyata ia telah melakukan perbuatan pidana. Alasan penghapus kesalahan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

    1. Alasan Pembenar (recht vardigingsground), yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sehingga apa yang dilakukan terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar;
    2. Alasan Pemaaf (straft uitsluitingsground), yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.[2]

Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana, namun karena tidak adanya kesalahan khususnya dikarenakan adanya alasan penghapus pidana sehingga tidak terpenuhinya unsur-unsur untuk dimintai pertanggungjawaban pidana. Alasan penghapus pidana diatur dalam ketentuan Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) diantaranya yaitu :[3]

Alasan Pembenar :

    1. Dalam keadaan darurat (noodtoestand) sebagaimana ketentuan Pasal 48 KUHP yang menyatakan :

“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

Contoh : seorang staff kontrak di sebuah instansi dipaksa atasannya untuk melakukan pemalsuan sebuah dokumen penting, perintah tersebut disertai dengan ancaman apabila tidak dilakukan staff tersebut akan diberhentikan dari pekerjaannya;

    1. Seseorang yang melakukan pembelaan secara terpaksa (noodweer) sebagaimana ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP yang menyatakan :

“Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.”

Contoh : seorang wanita yang melukai dengan benda tajam pelaku percobaan pelecehan seksual terhadap dirinya;

    1. Dalam hal melaksanakan perintah undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal Pasal 50 KUHP yang menyatakan ;

“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”

    1. Dalam hal melaksanakan perintah jabatan yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) KUHP yang menyatakan :

“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Alasan Pemaaf :

    1. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan :

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

Contoh : Orang gila yang melakukan pembunuhan

    1. Karena adanya daya paksa (overmacht) sebagaimana ketentuan Pasal 48 KUHP;
    2. Karena bela paksa yang melampaui batas (noodweer exes) sebagaimana ketentuan Pasal Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan :

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

Contoh : seorang wanita membunuh orang yang melakukan pemerkosaan terhadap dirinya

    1. Karena melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan :

“Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”

            Alasan penghapusan pidana tersebut merupakan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada pelaku atau terdakwa yang diajukan ke Pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena itu, seseorang dapat dinyatakan bebas dari pertanggungjawaban pidana setelah ia melalui proses pemeriksaan dan diputus oleh hakim pemutus perkara. Terhadap pelaku yang dikarenakan adanya gangguan jiwa, maka pembuktiannya berdasarkan atas hasil pemeriksaan rumah sakit jiwa dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHP yang menyatakan :

“Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.”

Pada dasarnya, hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukanlah hukuman untuk balas dendam terhadap pelaku, melainkan untuk memberikan efek jera melalui pemasyarakatan. Apabila perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku menimbulkan kerugian materiil, maka perkara dilanjutkan dengan tuntutan ganti rugi yang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu :

    1. Penggabungan kerugian perkara ganti kerugian sebagaimana ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan :

Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”

    1. Melalui gugatan secara perdata sebagaimana ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan :

“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karena itu menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian.”

    1. Melalui permohonan restitusi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b juncto Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan :
      1. Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
        1. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
        2. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
      2. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

[1] I Ketut Martha dkk, Buku Ajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 145 https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/424c6f6b9a703073876706bc9793eeda.pdf

[2] Ibid, hal, 157

[3] Ibid, hal. 158

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.