5 Alasan Batalnya Perkawinan Berdasar Undang-Undang Perkawinan
Alasan Batalnya Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan”). Kemudian syarat umum suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu jika perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum agama/kepercayaan masing-masing dan dicatatkan berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain kedua syarat umum tersebut, masih ada syarat-syarat pernikahan lainnya yang mengatur tentang keabsahan perkawinan/pernikahan.
Tidak terpenuhinya syarat perkawinan/pernikahan beresiko dapat membatalkan perkawinan/pernikahan tersebut. Perkawinan yang telah dilaksanakan dapat dibatalkan jika pihak-pihak yang ada dalam perkawinan tidak dapat memenuhi persyaratan untuk melanjutkan ikatan perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU Perkawinan.
Pembatalan perkawinan tersebut harus dimohonkan kepada dan diputus oleh Pengadilan, sebagaimana disampaikan oleh Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja sebagai pengertian dari pembatalan perkawinan.[1] Pengadilan yang dimaksud adalah peradilan umum bagi pasangan yang menikah secara non muslim atau Pengadilan Agama bagi pasangan yang pernikahannya tercatat di KUA.
Alasan-alasan batalnya perkawinan dijelaskan secara rinci dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. UU Perkawinan, yaitu dalam Pasal 26 menyebutkan alasan batalnya perkawinan adalah:
- Salah satu atau kedua calon mempelai masih terikat hubungan pernikahan dengan pihak lain
- Perkawinan yang dilakukan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang;
- Wali nikah yang tidak sah;
- Perkawinan yang tidak dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi;
- Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum atau terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Adapun secara Islam juga telah diatur tentang alasan batalnya perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), yaitu apabila:
- Suami melakukan perkawinan, padahal ia tidak berhak melakukannya karena sudah memiliki istri sejumlah empat orang meskipun salah satunya berada pada masa iddah talak raj’i
- Menikah dengan mantan istrinya yang pernah dili’an
- Menikahi mantan istrinya yang pernah diucapkan talak tiga tanpa adanya muhallil
- Perkawinan oleh dua orang yang memiliki hubungan darah
- Istri yang dinikahi merupakan saudara kandung atau bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.[2]
Lebih lanjut, alasan batalnya perkawinan berdasarkan Pasal 71 KHI apabila:
- Suami melakukan poligami tanpa seizin Pengadilan Agama
- Perempuan yang dikawini dikemudian hari diketahui masih menjadi istri orang lain
- Perempuan yang dikawini diketahui masih dalam masa iddah dari perkawinan sebelumnya
- Perkawinan yang melanggar batas umur yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan j.o Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
- Perkawinan yang dilakukan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
- Perkawinan yang terjadi karena paksaan.[3]
Putusan pembatalan perkawinan yang mengabulkan pembatalan perkawinan atas dasar alasan-alasan batalnya perkawinan tersebut berlaku secara surut. Keberlakuan secara surut tersebut diatur dalam Pasal 28 UU Perkawinan, sehingga perkawinan dianggap tidak pernah ada.
Pengajuan Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 26 UU Perkawinan dapat diajukan oleh pihak keluarga dengan garis turunan lurus ke atas dan ke bawah, jaksa, suami, dan/atau istri apabila perkawinan dilakukan di depan pejabat pencatat perkawinan yang tidak berwenang, perkawinan yang dilakukan tanpa dihadiri dua orang saksi.[4] Kemudian diberikan ketentuan tambahan dalam Pasal 27 UU Perkawinan, pembatalan perkawinan dalam pasal ini dapat terjadi apabila:
- Perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum
- Apabila dalam pelaksanaan perkawinan terjadi salah sangka antar suami atau istri
- Apabila dua point di atas sudah dipenuhi kembali, dalam waktu enam bulan tidak mengajukan pembatalan maka dianggap tetap menjadi suami istri sah dan gugur haknya untuk mengajukan pembatalan.
Pasal 73 KHI dan Pasal 23 UU Perkawinan menyebutkan pihak-pihak mana yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, antara lain:
- Pihak keluarga yang berada pada garis lurus keturunan ke atas dan ke bawah dari suami atau istri
- Suami atau istri
- Pejabat berwenang yang mengawasi pelaksanaan perkawinan sesuai Undang-Undang
- Pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mengetahui terdapat cacat pada rukun dan syarat perkawinan baik berdasarkan hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Dengan demikian, alasan batalnya perkawinan tersebut secara umum dalam UU Perkawinan terdiri atas 5, yaitu jika suami/istri masih terikat pernikahan dengan pihak lain, pencatat perkawinan tidak berwenang, tidak dilakukan dengan minimal 2 (dua) saksi, wali nikah tidak sah, pernikahan terjadi karena ancaman atau terjadi salah sangka tentang suami/istri. Terpenuhinya kelima alasan batalnya perkawinan tersebut tidak serta merta membatalkan perkawinan, sebab pembatalan perkawinan tersebut baru berlaku dan sah manakala telah diputus oleh Pengadilan.
Penulis: Hasna M. Asshafri, S.H.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.
[1]Siska Lis Sulistiani, Hukum Perdata Islam Penerapan Hukum Keluarga dan Hukum Bisnis Islam di Indonesia, 47
[2]Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam Edisi Lengkap, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2020), 20
[3]Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam Edisi Lengkap, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2020), 21
[4]Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam Edisi Lengkap, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2020), 82
[5]Pasal 73 Kompilasi Hukum islam dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanTata Cara Persidangan Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7...
Tindak Pidana Persekusi Dalam KUHP
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.