Akibat Hukum Apabila Anggota TNI Melakukan Tindakan Rasisme

Dua prajurit TNI Angkatan Udara (TNI AU) di Merauke, Papua akhir-akhir ini viral di media sosial karena diduga melakukan aksi kekerasan saat mengamankan seorang penyandang disabilitas. Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau), Marsma Indan Gilang, peristiwa tersebut diduga bermula ketika kedua prajurit TNI AU hendak membeli makan di sebuah rumah makan padang di Jalan Raya Mandala-Muli, Merauke pada hari Senin, 26 Juli 2021 lalu. Pada saat bersamaan, terjadi keributan yang diduga melibatkan seorang warga dengan penjual bubur ayam yang lokasinya berdekatan dengan rumah makan padang tersebut. Keributan itu disebabkan oleh A yang diduga mabuk dan melakukan pemerasan kepada penjual bubur ayam dan pemilik rumah makan padang serta sejumlah pelanggannya. Melihat keributan tersebut, kedua prajurit TNI AU berinisiatif untuk melerai dan A yang membuat keributan dibawa keluar dari warung. Namun, pada saat mengamankan A, kedua prajurit TNI AU melakukan tindakan yang dianggap berlebihan terhadap A.[1]

Kronologi kejadian kekerasan yang diduga dilakukan oleh 2 orang prajurit TNI AU juga diterangkan oleh Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey. Frits menerangkan bahwa peristiwa kekerasan oknum TNI AU terhadap seorang warga di Papua berawal ketika A yang diinjak kepalanya mendatangi warung di Jalan Raya Mandala-Muli, Merauke pada hari Senin, 26 Juli 2021. A berselisih mulut dengan beberapa orang yang ada disana, kemudian karena keterbatasannya sebagai difabel tuna rungu, saat berselisih mulut A melakukan gestur protes. Gestur protes tersebut dilakukan A karena terdapat seseorang di warung yang mengusir dirinya setelah ia mengancam penjual yang ada di warung tersebut. Saat selisih mulut berlangsung, kemudian datang 2 orang diduga anggota TNI AU dan langsung mengamankan A. Saat mengamankan A, seseorang yang diduga prajurit TNI AU mengunci tangan A dan satu orang lainnya menginjak kepala A. Padahal pada saat diamankan, A sama sekali tidak melakukan perlawanan dan justru berteriak minta ampun dalam gesturnya. Frits mengaku belum mengetahui motif A mendatangi warung, ia juga tidak membantah ada beberapa versi kronologi terkait kejadian tersebut, salah satunya menyebutkan bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh seorang A yang diduga mabuk.[2]

Provinsi Papua mempunyai otonomi khusus yang pengertiannya diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU 2/2021), yang menyatakan bahwa:

Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua.

Kemudian, dalam UU 2/2021 tersebut juga terdapat ketentuan terkait Majelis Rakyat Papua, dimana menurut Pasal 1 angka 8 UU 2/2021 adalah sebagai berikut:

Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disingkat MRP adalah representasi kultural Orang Asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 20 ayat (1) huruf d UU 2/2021 menyatakan bahwa MRP mempunyai tugas dan wewenang untuk:

memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas, sebenarnya jika diperlukan, maka dari pihak Provinsi Papua melalui MRP dapat melakukan tindakan baik dengan cara penyaluran aspirasi ataupun tindak lanjut lainnya terkait aspirasi yang disampaikan A dalam peristiwa ini. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf d UU 2/2021 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya” adalah tugas MRP untuk melakukan berbagai upaya penyelesaian aspirasi dan pengaduan dalam membantu pihak-pihak pengadu.

Tindakan rasisme atau yang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi (UU 40/2008) disebut sebagai Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis menurut Pasal 1 angka 5 UU 40/2008 pada intinya adalah perbuatan yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan hal tersebut, apabila terdapat anggota TNI yang melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 4 huruf b angka 4 UU 40/2008 yang menyatakan bahwa tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Selanjutnya sanksi pidana yang berlaku bagi pelaku tindakan diskriminasi ras dan etnis seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf b angka 4 UU 40/2008, diatur dalam Pasal 17 UU 40/2008 yang menyatakan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.

Berdasarkan hal tersebut, apabila pada kasus dugaan kekerasan terhadap A terbukti benar dilakukan oleh Prajurit TNI AU dan diproses dengan menggunakan UU 40/2008, maka TNI AU bersangkutan dapat dikenai pidana Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 17 UU 40/2008 tentang penganiayaan dalam tindakan diskriminasi ras dan etnis, dengan ancaman hukuman paling lama 2 tahun 8 bulan ditambah dengan 1/3 dari ancaman hukuman tersebut (10 bulan 20 hari), sehingga jika ditambahkan total ancaman hukumannya maksimal adalah selama 3 tahun 6 bulan 20 hari atau sesuai dengan kebijakan penuntut umum.

Kadispenau, Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah menegaskan bahwa TNI AU akan menindak secara tegas setiap prajurit parjurit TNI AU yang melakukan tindakan pelanggaran. Kejadian tersebut akan ditindak lanjuti, dan kedua oknum tersebut akan ditindak secara tegas sesuai aturan hukum yang berlaku di lingkungan TNI. Saat ini kedua prajurit TNI AU tersebut telah ditahan di Satpom Lanud DMA dan proses hukumnya sedang berjalan.[3]

[1] CNN Indonesia. “Kronologi Tentara Injak Kepala Versi Komnas Papua dan TNI AU”. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210728104747-20-673201/kronologi-tentara-injak-kepala-versi-komnas-papua-dan-tni-au/2

[2] Ibid.

[3] Dispen AU. “Kadispenau: TNI AU Akan Menindak Tegas Anggota yang Melakukan Pelanggaran”. https://tni-au.mil.id/kadispenau-tni-au-akan-menindak-tegas-anggota-melakukan/

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.