Apa yang Dimaksud dengan Akad Qardh?

Akad qardh merupakan salah satu bentuk pembiayaan dalam perbankan syariah berupa transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 25 huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah). Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf e  UU Perbankan Syariah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan akad qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. Akad qardh dikategorikan dalam ‘aqad tatawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial, sehingga akad qardh digunakan semata-mata untuk menjalankan kegiatan sosial.[1] Penyaluran dana untuk akad qardh berasal dari dana sosial seperti zakat, infaq, sadaqah, ataupun dana yang berasal dari modal bank untuk suatu keperluan tertentu yang bukan untuk tujuan konsumtif.[2] Ketentuan umum akad qardh atau bisa disebut juga dengan Al-Qardh menurut poin pertama Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh, yaitu sebagai berikut :

    1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan;
    2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama;
    3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah;
    4. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu;
    5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad;
    6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
    7. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
    8. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Terkait dengan akad qardh juga diatur dalam ketentuan Pasal 606 sampai dengan Pasal 611 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES) yang kurang lebih menyatakan hal yang sama dengan ketentuan dalam menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh. Sumber dana qardh berdasarkan ketentuan dalam Pasal 611 KHES yaitu :

  1. bagian modal Lembaga Keuangan Syari’ah;
  2. keuntungan Lembaga Keuangan Syari’ah yang disisihkan; dan/atau
  3. lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaknya kepada Lembaga Keuangan Syari’ah.

Fitur dan mekanisme dalam pembiayaan atas dasar akad qardh dinyatakan dalam Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/31/ DPBS 2008 Perihal Produk Perbankan Syariah (selanjutnya disebut Buku Kodifikasi Lampiran SEBI 10/2008) yaitu sebagai berikut :

  1. Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (Qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan;
  2. Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai Akad;
  3. Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran;
  4. Pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar Qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati; dan
  5. Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah.

Sanksi yang dapat dikenakan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tersebut, dinyatakan dalam poin kedua Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh, yaitu :

  1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidak-mampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah;
  2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa –dan tidak terbatas pada– penjualan barang jaminan;
  3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.

Kemudian, berdasarkan poin keempat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh menyatakan bahwa apabila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Namun, dalam ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah dinyatakan bahwa penyelesaian perselisihan dapat dilakukan berdasarkan atas kesepakatan dalam akad selama penyelesaian tersebut tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Selain itu, para pihak juga dapat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Agama guna menyelesaian perselisihan tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan, para pihak bebas menentukan cara untuk penyelesaiannya selama proses penyelesaiannya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

[1] Herjanriasto Bekti Nugroho, Prinsip Kehati-hatian Pada Akad Qardh Dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Journal of Islamic Economic Law, Vo. 5, No. 1, Maret 2020, Palopo : Institut Agama Islam Negeri Palopo, hal. 33

[2] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.