Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang sebagaimana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah). IMBT merupakan salah satu produk penyaluran dana yang ditawarkan dalam Perbankan Syariah. Dalam IMBT terdapat dua penggabungan akad, yaitu kombinasi antara sewa menyewa dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.[1] Berdasarkan Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/31/ DPBS 2008 Perihal Produk Perbankan Syariah (selanjutnya disebut Buku Kodifikasi Lampiran SEBI 10/2008) menyatakan bahwa IMBT merupakan Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa. Selain itu, Pasal 1 angka 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perbankan Syariah (selanjutnya disebut POJK 31/2014) menyatakan bahwa IMBT adalah ijarah yang disertai dengan janji pemindahan kepemilikan (wa’d) setelah masa ijarah selesai.
Fitur dan mekanisme dalam pembiayaan atas dasar akad IMBT yang dinyatakan dalam Buku Kodifikasi Lampiran SEBI 10/2008 yaitu sebagai berikut :
- Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah;
- Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah;
- Pengembalian atas penyediaan dana Bank dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus;
- Pengembalian atas penyediaan dana Bank tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang; dan
- Dalam hal pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik, selain Bank sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah, juga bertindak sebagai pemberi janji (wa’ad) antara lain untuk memberikan opsi pengalihan hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah sesuai kesepakatan.
Pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam huruf e dapat dilakukan melalui jual beli atau hibah.[2] Dalam prakteknya, terkadang IMBT juga dilakukan dengan obyek barang milik nasabah yang nantinya akan menjadi jaminan, sehingga untuk menghindari nasabah menyewa barangnya sendiri, maka dilakukan perjanjian jual beli barang tersebut dengan nasabah sebagai penjual dan pembeli yang nilainya dicover dengan akad qardh (hutang). Berdasarkan hal tersebu, maka terdapat 2 (dua) hutang, yaitu hutang dengan dasar qardh yang nantinya dikembalikan sesuai dengan nilai yang dihutang dan IMBT yang nilainya sesuai dengan perjanjian (sewa menyewa).
Ketentuan mengenai IMBT juga diatur dalam ketentuan Pasal 322 sampai dengan Pasal 329 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES). Pasal 322 KHES menyatakan bahwa rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan IMBT, dimana rukun Ijarah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 295 KHES diantaranya yaitu :
- Musta’jir/Pihak yang menyewa;
- Mu’ajir/Pihak yang menyewakan;
- Ma’jur/benda yang diijarahkan; dan
- Akad
Pasal 323 ayat (1) KHES menyatakan bahwa Akad IMBT atas suatu benda antara mu’ajir dan musta’jir diakhiri dengan kepindahan kepemilikan. Pemindahan kepemilikan tersebut dapat dilakukan dengan akad bai’ (jual beli) atau hibah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 323 ayat (2) KHES. Pemindahan kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah IMBT berakhir sebagaimana ketentuan dalam Pasal 324 ayat (3) KHES. Dalam hal telah dilakukan akad IMBT, maka musta’jir dilarang menyewakan dan/atau menjual ma’jur kepada pihak lain, kecuali ditetapkan lain dalam akad. Apabila dikemudian hari musta’jir tidak mampu melunasi pembiayaan, maka mu’ajir dapat melakukan penyelesaian akad IMBT sebagaimana ketentuan dalam Pasal 327 KHES yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan dalam akad IMBT.
Apabila terjadi sengketa terkait IMBT, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui shluh (damai) atau melalui pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 327 KHES. Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah yaitu Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah. Pasal 328 KHES menyatakan bahwa Pengadilan dapat menentukan untuk menjual ma’jur yang tidak dapat dilunasi oleh musta’jir dengan harga pasar untuk melunasi utang musta’jir. Hal tersebut, merupakan bentuk eksekusi terhadap penyelesaian sengketa terkait akad IMBT. Apabila harga jual ma’jur dalam IMBT melebihi sisa utang, maka pihak mu’ajir harus mengembalikan sisanya kepada musta’jir sebagaimana ketentuan dalam Pasal 329 ayat (1) KHES. Kemudian, apabila harga jual ma’jur dalam IMBT lebih kecil dari sisa utang, maka sisa utang tetap wajib dibayar oleh musta’jir sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 329 ayat (2) KHES. Namun, Pasal 329 ayat (3) KHES menyatakan bahwa apabila musta’jir tidak dapat melunasi sisa utangnya, maka Pengadilan dapat membebaskannya atas izin pihak muajir.
[1] Dzakkiyah Rusydatul Umam, dkk, Analisis Yuridis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) Dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Artikel Ilmiah, Malang : Universitas Brawijaya, hal. 3
[2] Ibid
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKredit Dalam Hukum Syariah
Hambatan/Kendala Yang Dialami Developer Dalam Menyerahkan Fasilitas Umum Dan...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.