Advokat Sebagai Tersangka Dalam Menjalankan Tugasnya
Advokat dalam menjalankan tugasnya diberikan hak imunitas. Hak imunitas advokat berupa pekerjaan yang dilakukan selama dalam proses pengadilan, yang ruang lingkupnya juga meliputi kekebalan advokat dalam pekerjaan diluar pengadilan dalam persiapan penanganan perkara.[1]Hak Imunitas diberikan agar advokat tidak dapat diintervensi pada saat menjalankan tugasnya baik didalam maupun diluar pengadilan.[2] Hak imunitas advokat disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 huruf g Kode Etik Advokat yang menyatakan sebagai berikut :
“Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.”
Hak imunitas advokat juga tertuang dalam ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) yang menyatakan sebagai berikut :
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”
Penjelasan Pasal 16 UU Advokat menyatakan bahwa “iktikad baik” yang dimaksud dalam Pasal 16 UU Advokat tersebut yaitu menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya, sedangkan yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” yaitu sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Namun, beberapa advokat mengajukan judicial review terhadap ketentuan dalam Pasal 16 UU Advokat tersebut, karena ketentuan dalam Pasal 16 UU Advokat berpotensi merugikan advokat, dimana perlindungan yang diberikan hanya meliputi perlidungan dalam pengadilan, sehingga perlindungan terhadap hal-hal diluar pengadilan dalam penanganan perkara tidak terlindungi. Berdasarkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 diputuskan bahwa Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai :
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”
Sedangkan batasan-batasan iktikad baik yang dimaksud dalam Pasal 16 UU Advokat juga diajukan judicial review, dimana dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 52/PUU-XVI/2018, hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut :
“Bila menggunakan penafsiran sistematis dan mengacu kepada Pasal 6 dan Pasal 15 UU 18/2003 maka jika yang menjadi Batasan iktikad baik Advokat dalam menjalankan profesinya adalah tidak boleh bertentangan dengan kode etik, peraturan perundang-undangan, sumpah janji Advokat, serta nilai-nilai kelayakan dan kepatutan yang ada dimasyarakat. Apabila tindakan Advokat bertentangan dengan kode etik, peraturan perundang-undangan, sumpah atau janji Advokat serta nilai-nilai kelayakan dan kepatutan, maka Advokat tersebut telah tidak beriktikadbaik.
…hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum.Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikadbaik atau tidak.Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003dinyatakan,“Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikadbaik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya punAdvokatharus tetap berdasarkan aturan hukum. Lebih lanjut, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Nomor 7/PUU-XVI/2018 dinyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada“kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi”. Maka dengan demikian kebebasan atau hak imunitas profesi Advokat saat melaksanakan tugas pembelaan hukum kepada kliennya harus didasarkan kepada itikad baik yakni berpegang pada Kode Etik dan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain kebebasan Advokat ketika melaksanakan tugas profesinya tersebut diatur pada ranah etik dan ranah hukum sehingga seorang Advokat pun harus tunduk pada etika profesi dan mematuhi hukum.”
Pengawasan terhadap pelanggaran Kode Etik Advokat dilakukan oleh Dewan Kehormatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 ayat b Kode Etik Advokat. Dewan Kehormatan juga berwenang melakukan pemeriksaan dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 26 ayat 5 UU Advokat. Namun, Pasal 26 ayat (6) UU Advokat menyatakan bahwa Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana. Hal ini juga dinyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa :
“…Dengan demikian telah jelas bahwa kewenangan DKOA hanya berkait dengan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi Advokat (Kode Etik Profesi Advokat), sehingga untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukumdalam kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana maupun perdata…”
Oleh karena itu, apabila pelanggaran kode etik Advokat memenuhi unsur pidana, maka yang berhak melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap perbuatan pidananya yaitu penegak hukum yang berwenang. Sedangkan, Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, hanya berwenang mengadili sejauh kewenangannya terkait pengawasan, pemeriksaan dan mengadili pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat.
Salah satu contoh terkait dengan adanya unsur pidana terhadap Advokat yang sedang menjalankan tugasnya, yaitu kasus yang terjadi pada Fredrich Yunadi sebagai mantan Pengacara Setyo Novanto dalam kasus Korupsi E-KTP pada tahun 2018. Fredrich Yunadi dinilai terbukti memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden.[3] Berdasarkan hal tersebut Fredrich Yunadi resmi menjadi terdakwa, dimana dalam Putusan Kasasinya, Mahkamah Agung memperberat vonis Fredrich Yunadi menjadi 7,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsider 8 bulan kurungan.[4] Saat ini kasus yang menimpa Fredrich Yunadi masih dalam proses Peninjauan Kembali. Apabila dalam Peninjauan Kembali Fredrich Yunadi tetap dinyatakan bersalah dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, maka Fredrich Yunadi sebagai anggota dalam organisasi profesi Advokat dapat diberhentikan secara tetap oleh Organisasi Advokat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 UU Advokat yang menyatakan sebagai berikut :
- Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
- permohonan sendiri;
- dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
- berdasarkan keputusan Organisasi Advokat;
- Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.
[1] Fauzie Yusuf Hasibuan, Hak Imunitas Advokat Indonesia, Artikel Ilmiah, Jakarta : Universitas Jaya Baya, hal. 3
[2] Ibid.
[3] https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/porch6409/ma-tambah-vonis-eks-pengacara-setnov-jadi-75-tahun-penjara
[4] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.