Aanvullen Recht dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook)
Hukum privat dalam sistem hukum mengatur hubungan antara individu satu dengan lainnya. Hukum privat berbeda dengan Hukum publik yang mengatur mengenai hubungan antara individu dengan negara.
Salah satu hal yang diatur dalam hukum privat adalah perjanjian. Perjanjian sangat dibutuhkan untuk mengikat para pihak dalam suatu perjanjian yang mereka sepakati. Kini perjanjian menjadi hal yang utama dalam perkembangan perekonomian, sebab kerjasama antar para subyek hukum privat menjadi sangat penting untuk perkembangan usaha masing-masing.
Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Dengan demikian, dasar-dasar atau prinsip-prinsip perjanjian harus tunduk pada Buku III KUH Perdata seperti Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat-syarat perjanjian.
Salah satu prinsip yang sangat mendasar adalah prinsip kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasar ketentuan tersebut, maka kebebasan yang dimaksud diantaranya adalah subyek-subyek hukum yang membuat kontrak, bentuk kontrak, isi kontrak, dan pelaksanaannya selama tidak bertetentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebebasan tersebutlah yang kemudian disebut sebagai Aanvullen recht karena bersifat terbuka, dimana para pihak dapat mengesampingkan ketentuan-ketentuan dalam Bab III KUH Perdata kecuali pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian. Pengesampingan yang sering dipakai adalah pengesampingan terhadap Pasal 1266 KUH Perdata tentang pembatalan perjanjian yang harus dilakukan melalui putusan pengadilan. Kebalikan dari sifat terbuka adalah dwingen recht yang berarti tertutup atau bersifat memaksa, dimana ketentuan-ketentuan tersebut harus dipatuhi dan tidak dapat dikesampingkan.
Penerapan anvullen recht dalam hukum perdata dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1477 KUHPer. Isi dari Pasal 1477 KUHPer ini yaitu :
“penyerahan harus terjadi dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak diadakan persetujuan lain”
Peraturan hukum ini hanya bersifat sebagai pelengkap sehingga orang yang mengadakan perjanjian, perikatan ataupun kontrak dapat mengesampingkan atau menyimpanginya dengan menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan barang tersebut berdasarkan atas kesepaktan para pihak. Apabila para pihak tidak menentukan sendiri mengenai penyerahan barang tersebut maka ketentuan dala Pasal 1477 KUHPer berlaku bagi para pihak.
Ketentuan mengenai anvullen recht ini juga berlaku terhadap ketentuan dalam Buku III KUHPer kecuali ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPer yang berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian. Dalam prakteknya terdapat beberapa ketentuan dalam Buku III KUHPer yang sifatnya menuai pro kontra di kalangan penegak hukum. Salah satunya yaitu adanya pengecualian Pasal 1266 dan 1267 KUHPer dalam suatu perjanjian. Pendapat yang bertolak belakang tersebut yaitu diantaranya pendapat pertama menyatakan bahwa Pasal 1266 KUHPer merupakan suatu aturan yang bersifat memaksa (dwingen recht) sehingga tidak dapat dikesampingkan. Akan tetapi, pendapat kedua yaitu bahwa Pasal 1266 bersifat melengkapi (anvullend recht) sehingga para pihak dapat mengesampingkan Pasal 1266.
Pihak yang berpendapat Pasal 1266 KUHPer tidak boleh dikesampingkan beralasan karena syarat batalnya suatu kontrak yaitu apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya. Prinsip dari Pasal 1266 KUHPer ini yaitu memberikan kewajiban bahwa bagaimanapun suatu pihak mengatur suatu perjanjian timbale balik (das sein). Namun apabila berkaitan dengan batalnya perjanjian sebagai akibat wanprestasi, maka perjanjian tersebut harus tunduk pada ketentuan Pasal 1266 KUHPer (das sollen). Hal ini disimpulkan berdasarkan atas frasa “dianggap selalu” dalam Pasal 1266 KUHPer yang dapat diartikan ada atau tidaknya klausula mengenai batalnya perjanjian sebagai akibat wanprestasi, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan Pasal 1266 KUHPer. Selain itu, dalam Pasal 1266 KUHPer juga dijelaskan bahwa pasal tersebut berlaku untuk perjanjian-perjanjian yang sifatnya timbal balik apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Hal ini kemudian tidak menjadi batal demi hukum, tetapi pembatalannya harus diajukan ke Pengadilan.
Sedangkan pihak yang berpendapat bahwa Pasal 1266 KUHPer bersifat melengkapi (anvullen recht) menganggap seluruh ketentuan dalam Buku III KUHPer bersifat terbuka kecuali ketentuan Pasal 1320 KUHper. Sehingga setiap orang yang melakukan perikatan bersifat fleksibel tergantung dari kesepakatan para pihak, serta memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHper mengenai syarah sahnya suatu perjanjian.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.