Gagal Bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera Tak Kunjung Usai

Asuransi Bumiputera mengalami permasalahan gagal bayar klaim para nasabah yang sejak tahun 2010 sampai saat ini masih belum selesai. Pada tahun 2020 silam asuransi Bumiputera mengklaim sudah mulai menuntaskan pembayaran klaim nasabah yang tertunggak.[1]

Bumiputera adalah perusahaan asuransi jiwa yang berada di bawah naungan BUMN Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera. Berdiri sejak tahun 1912, produk asuransi perusahaan BUMN ini terbagi menjadi 3 kategori, yaitu asuransi individu, asuransi kumpulan, dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK). Asuransi ini menjadi perusahaan asuransi mutual yang dimiliki oleh pemegang polis Indonesia, dioperasikan untuk kepentingan pemegang polis Indonesia, dan dibangun berdasarkan tiga pilar mutualisme, idealisme, dan profesionalisme. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 pada tahun-tahun sebelumnya terdapat banyak permasalahan yang harus dihadapi, seperti berikut:[2]

  1. AJB Bumiputera sempat membayarkan klaim nasabah asuransi jiwa pada tahun 2010 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun, yang dilaporkan pada kas perusahaan adalah Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  2. Pada tahun 2007 dan 2008, terdapat skandal kontrak pengelolaan dana dan investasi lewat PT Optima Kharya Capital Management (Optima) yang dilakukan sebanyak tujuh kali. Namun, pemilihan Optima itu berdasarkan hasil suap. Sederhananya, Bumiputera menyerahkan pengelolaan dana investasinya kepada Optima. Total uang Bumiputera yang dikelola Optima mencapai Rp 307.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh milyar rupiah).
  3. Tahun 2009, Optima tidak dapat mengembalikan dana investor, termasuk Bumiputera. Optima epanjang tahun 2007 sampai 2008. Total uang yang diinvestasikan lewat Optima mencapai Rp 307 miliar dan $3 juta, dan tahun 2009 hanya dapat mengembalikan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada Bumiputera saat jatuh tempo.
  4. Audit keuangan Bumiputera mendapatkan nota tidak wajar sepanjang 2009-2011. Pada tahun 2012, utang perusahaan mencapai 22,77 triliun rupiah, padahal total asetnya hanya 12,1 triliun rupiah.
  5. Masalah keuangan tersebut masih mendapatkan kendala hingga saat ini. Namun, manajemen Bumiputera sedang berusaha melakukan perbaikan dari sisi manajemen aset dan pengelolaan dana.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa proses penyehatan atau restrukturisasi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 masih akan berlanjut dengan skema baru. OJK bersama Pengelola Statuter (PS) yang ditunjuk otoritas, tengah menyiapkan program anyar yang dinilai komprehensif kepada satu-satunya asuransi yang berbentuk usaha bersama atau mutual insurance tersebut. Program ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari skema restrukturisasi yang dimulai sejak paruh kedua 2016.[3] Manajemen Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, saat ini tidak mampu membayar klaim para pemegang polisnya. Sekitar 500.000 (lima ratus ribu) klaim pemegang polis yang telah habis kontrak, tak kunjung dicairkan sejak 3 tahun terakhir.[4]

Di tengah upaya penyelesaian klaim dana nasabah pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sebanyak tiga juta peserta di seluruh Indonesia, asuransi bersama ini dikejutkan dengan kabar terbaru mengenai mantan Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) Bumiputera yakni Nurhasanah. Kepala Departemen Penyidikan pada Sektor Jasa Keuangan OJK, Tongam Lumban Tobing mengatakan bahwa tersangka Ketua BPA Bumiputera periode 2018-2020 itu ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana sektor jasa keuangan dan melanggar Pasal 53 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bahwa perbuatan tersangka telah mengakibatkan terhambatnya penyelesaian permasalahan yang dihadapi AJBB.[5]

Industri asuransi di Indonesia belakangan ini semakin banyak, salah satunya adalah Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan masa depan yang lebih baik. Walaupun begitu, masih ada juga yang meragukan asuransi karena menganggap hanya buang-buang uang untuk hal yang tidak bisa kita nikmati segera. Padahal, pemerintah telah memberikan payung hukum asuransi yang layak dan kokoh seperti UU Asuransi.[6] Menurut Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang menjelaskan bahwa: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”

Undang-undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Pasalnya, perkembangan industri perasuransian dan perekonomian di Indonesia sudah berubah. UU asuransi ini tertuang lengkap dalam dokumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan dasar hukum Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[7] Sehingga UU No. 2 tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Berikut perbedaan antara UU asuransi yang baru dan yang lama:

NOUU Asuransi Baru (40/2014)UU Asuransi Lama (2/1992
 

1

 

Konsultan aktuaria bukan usaha perasuransian, melainkan profesi penyedia jasa bagi perusahaan asuransi dan harus terdaftar di OJK.

 

Usaha konsultan aktuaria dikategorikan sebagai bidang usaha perasuransian yang izinnya diberikan menteri.

 

2

 

Bentuk badan hukumnya terdiri atas: perseroan terbatas (PT), koperasi, dan usaha bersama.

 

 

Bentuk badan hukumnya terdiri atas: perusahaan perseroan (Persero), koperasi, Usaha Bersama (mutual).

 

3

 

Perusahaan asuransi yang didirikan warga negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia harus dimiliki WNI secara langsung maupun tidak langsung. Pihak asing harus menjadi perusahaan induk.

 

 

Perusahaan asuransi yang didirikan warga negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia tidak diatur kepemilikannya. Dalam perusahaan patungan, status perusahaan asing sebagai induk perusahaan tidak diatur.

 

4

 

Paling lama 30 hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, perusahaan asuransi dan reasuransi harus menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk memutuskan pembubaran badan hukum.

 

 

Tidak ada kejelasan mengenai aturan pencabutan izin usaha perusahaan asuransi dan reasuransi.

Dasar hukum asuransi lainnya adalah undang-undang yang mengatur berlakunya asuransi, sebagaimana diatur dalam Pasal 255 KUHD. Masa berlaku asuransi umumnya dijelaskan di dalam polis asuransi yang diterbitkan oleh Penanggung sebagai bentuk kontrak kerjasama mereka. Berikut isi pernyataan pasal tersebut: “Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.”

Asuransi mengandung unsur perjanjian antara kedua belah pihak, maka akan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana. Sebagaimana hal tersebut dirinci dan dijelaskan dalam Pasal 1320 KUHP yang menyebutkan: “Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan dalam membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang.” Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang-bidang berikut, antara lain:

  1. Jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko.
  2. Pertanggungan ulang risiko.
  3. Pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah.
  4. Konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau
  5. Penilai kerugian asuransi atau asuransi syariah.

Perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.[8] Sebagaimana dipahami bahwa fungsi pengawasan terhadap perusahaan asuransi adalah pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK dalam hal ini sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan di sektor perasuransian, berfungsi untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungajawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :

  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perasuransian, OJK mempunyai wewenang seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 8 dan Pasal 9 untuk dasar pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut .

Akibat gagal bayar asuransi seperti yang dihadapi oleh Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera dan Asuransi Jiwasaraya, menyebabkan pendapatan Negara menjadi menurun dari pendapatan asuransi. Selain itu OJK mencatat bahwa baik Bumiputera atau Jiwasaraya memiliki difisit ekuitas yang lebih besar dari pada aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan asuransi tersebut. Hal ini juga berdampak pada pemegang polis asuransi yang hendak mencairkan asuransinya menjadi terhambat, dan telah dirasakan semenjak beberapa tahun lalu samapi saat ini.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Perasuransian”) Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan Asuransi dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perusahaan Asuransi yang telah dicabut izinnya sekalipun,  tidak dapat mengajukan permohonan pailit secara sukarela tanpa persetujuan OJK. Kedudukan OJK dalam perkara kepailitan yaitu mewakili kreditor yang penunjukkannya berdasarkan surat kuasa khusus dari Dewan Komisioner OJK yang kemudian dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga dalam lingkup kedudukan hukum dari debitor berdomisili. Prosedur yang harus ditempuh oleh OJK tetap mengacu pada ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam UU 37/2004.[9] Mekanisme dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, yaitu:[10]

  1. Kreditor dari Perusahaan Asuransi tersebut menyampaikan permohonan kepada OJK untuk kemudian OJK melakukan kajian apakah dimungkinkan diajukannya pengajuan permohonan pernyataan pailit tersebut terhadap Perusahaan Asuransi yang bersangkutan.
  2. OJK melalui Dewan Komisioner OJK dapat langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi yang bersangkutan bilamana terdapat pertimbangan-pertimbangan mengenai stabilitas dan kondisi keuangan dari Perusahaan Asuransi tersebut.

 

 

[1] https://duitpintar.com/bumiputera/#Apa_itu_Bumiputera

[2] https://lifepal.co.id/media/asuransi-bumiputera-bangkrut/#Kronologi_kasus_Bumiputera

[3] https://finansial.bisnis.com/read/20180215/215/739259/ini-kronologi-perkembangan-penyehatan-ajb-bumiputera

[4] https://portallebak.pikiran-rakyat.com/bisnis/pr-292494135/kronologi-karut-marut-ajb-bumiputera-1912-sebabkan-gagal-bayar-klaim-pemegang-polis

[5] https://www.cnbcindonesia.com/market/20210702074404-17-257604/eks-ketua-bpa-bumiputera-ditahan-kejagung-ini-kronologinya

[6] https://www.qoala.app/id/blog/asuransi/umum/uu-asuransi/

[7] https://www.qoala.app/id/blog/asuransi/umum/uu-asuransi/

[8] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.05/2017 tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian, Pasal 1 nomor 2.

[9] https://indonesiare.co.id/id/article/kepailitan-perusahaan-asuransi

[10] Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.