3 Sistem Peradilan Pidana

3 Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu rangkaian proses yang digunakan dalam menegakkan hukum pidana. Pada dasarnya, terdapat 3 sistem peradilan pidana yaitu akusatur, inkuisitur, dan campuran.

 

  1. Sistem Peradilan Pidana Inkuisitur

Sistem Peradilan Pidana Inkuisitur adalah suatu sistem dimana seorang tersangka diperlakukan sebagai obyek dalam suatu pemeriksaan. Sistem inkuisitur tersebut berkembang di Daratan Eoripa sejak abad ke-13 sampai dengan awal pertengahan abad ke-19, yang apabila tersangka tidak mengakui kejahatannya maka petugas akan terus menyiksa tersangka sampai dengan diperolehnya pengakuan.[1]

Dikarenakan dalam sistem inkuisitur tersebut tersangka dianggap sebagai obyek, maka tidak ada perhatian pada hak asasi tersangka. Bahkan tersangka dapat tidak dihadirkan di muka persidangan atau pemeriksaan sekalipun.

Sebelum terbit dan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “KUHAP”), sistem peradilan pidana inkuisitur inilah yang digunakan dalam penegakan hukum pidana berdasarkan undang-undang yang dibawa oleh Kolonial Belanda. Hal tersebut dapat dilihat dari macam-macam alat bukti yang berlaku dalam Herzien Inlandsch Reglement tentang peradilan pidana, yang salah satunya adalah “pengakuan terdakwa”, artinya jika tidak ditemukan bukti lain maka pengakuan terdakwa juga dapat menjadi bukti. Oleh karena itu, tidak jarang petugas akan selalu mengejar pengakuan terdakwa.

 

  1. Sistem Peradilan Pidana Akusatur

Berkebalikan dengan sistem peradilan pidana inkuisitur, sistem peradilan pidana akusatur mendudukkan seorang tersangka sebagai subyek. Posisi sebagai subyek tersebut memberikan perhatian dan jaminan kepada hak asasi tersangka.

Sistem Peradilan Pidana Inkuisitur sangat menjunjung tinggi hak asasi tersangka/terdakwa. Apabila dalam sistem peradilan pidana inkuisitur tersangka dapat tidak dihadirkan dalam pemeriksaan, sistem akusatur mengharuskan tersangka untuk dihadirkan di muka persidangan. Di samping itu, sistem akusatur juga yang menjadikan adanya pemeriksaan pendahuluan seperti dari tingkat penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan, sampai dengan tingkat peradilan, dimana pihak-pihak yang memeriksa bersifat independen.[2]

Salah satu alat bukti KUHAP menunjukkan adanya unsur sistem peradilan pidana akusatur, dimana salah satu alat bukti adalah “keterangan terdakwa”. Alat bukti tersebut menunjukkan bahwa yang harus didengarkan bukan hanya pengakuan terdakwa, melainkan juga keterangan-keterangan lain yang diberikan oleh terdakwa terhadap suatu peristiwa pidana tersebut.

 

  1. Sistem Peradilan Pidana Campuran

Sistem Peradilan Pidana Campuran merupakan perpaduan antara sistem peradilan pidana akusatur dan inkuisitur. Sistem tersebut timbul untuk menyatukan sisi positif dari masing-masing sistem peradilan pidana dan mengesampingkan sisi negatifnya.

Sistem campuran berkembang pada pertengahan abad ke-19 di Eropa. Dalam sistem tersebut, masih diakui adanya alat bukti pengakuan, namun penuntutan sudah dilakukan oleh seorang jaksa meski dirinya juga merangkap sebagai penyidik.

 

Dengan demikian, 3 sistem peradilan pidana yang ada tersebut di atas memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Sistem peradilan pidana inkuisitur mendudukkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan yang tidak memiliki hak apapun, sedangkan akusatur mendudukkan tersangka seabgai subyek yang tentunya hak-haknya sangat diperhatikan, adapun campuran adalah perpaduan antara keduanya.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

 

[1] Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Prenada Media Group, halaman 36.

[2] Ibid, halaman 39

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.