Perubahan Terkait Hukum Pertanahan dalam Omnibus Law

            Omnibus Law merupakan susunan peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini menyita perhatian masyarakat. Omnibus Law dikenal setelah disampaikan dalam pidato kenegaraan pelantikan Presiden di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2019 lalu. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tanggal 4 Oktober 2020 tanpa nomor, sehingga memicu aksi protes masyarakat di berbagai daerah. Alasan aksi yang terjadi di berbagai daerah yaitu karena masyarakat menganggap DPR terkesan terburu-buru serta terkait beberapa peraturan didalamnya dianggap lebih memihak pada investasi asing dengan mengesampingkan hak-hak rakyat Indonesia khususnya pekerja/buruh. Terjadinya aksi penolakan diberbagai daerah lantas tidak menyurutkan niat pemerintah untuk mengesahkan undang-undang tersebut. Kemudian pada tanggal 2 November 2020 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) atau dikenal dengan Omnibus Law disahkan oleh Presiden Joko Widodo.

            UU Cipta Kerja salah satunya memuat tentang perubahan terhadap aturan hukum tanah di Indonesia. Hukum tanah yang diubah melalui UU Cipta Kerja dimuat dalam Bab VIII tentang Pengadaan Tanah yang terdiri dari ketentuan Pasal 122 sampai dengan Pasal 147. Bab VIII tentang Pengadaan Tanah dalam UU Cipta Kerja dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :

  1. Bagian Kesatu (Umum)

            Pada bagian kesatu terdiri atas ketentuan Pasal 122 UU Cipta Kerja yang menyatakan hal-hal sebagai berikut :

“Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja,Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

    1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20I2 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20l2 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
    2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068).”

 

2. Bagian Kedua (Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum)

            Pada bagian kedua terdiri atas ketentuan Pasal 123 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah). Pasal-pasal yang dirubah berdasarkan ketentuan Pasal 123 UU Cipta Kerja yaitu sebagai berikut :

Tabel 1.1 Perbandingan Perubahan Pasal UU Pengadaan Tanah dalam UU Cipta Kerja

Pasal yang diubah UU Pengadaan Tanah Perubahan dalam UU Cipta Kerja
Pasal 8Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini
  1. Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.
  2. Dalam hal rencana Pengadaan Tanah, terdapat Objek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/tanah adat, dan/atau tanah aset PemerintahPusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,penyelesaian status tanahnya harus dilakukan sampai dengan penetapan lokasi;
  3. Penyelesaian perubahan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan;
  4. Perubahan obyek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat dilakukan melalui mekanisme:
    1. pelepasan kawasan hutan dalam hal PengadaanTanah dilakukan oleh Instansi; atau
    2. pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakaikawasan hutan dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan oleh swasta.
Pasal 10Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

  1. pertahanan dan keamanan nasional;
  2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
  3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
  4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
  7. jaringan telekomunikasi dan inforrnatika Pemerintah;
  8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  9. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
  10. fasilitas keselamatan umum;
  11. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
  12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  13. eagar alarn dan eagar budaya;
  14. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
  15. penataan perrnukiman kurnuh perkotaan dan/ atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
  16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
  17. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
  18. Pasar umum dan lapangan parkir umum
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

  1. pertahanan dan keamanan nasional;
  2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api,stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
  3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran airdan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
  4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/ataudistribusi tenaga listrik;
  7. jaringan telekomunikasi dan informatikapemerintah;
  8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  9. rumah sakit Pemerintah Pusat atau PemerintahDaerah;
  10. fasilitas keselamatan umum;
  11. permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  13. cagar alam dan cagar budaya;
  14. kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
  15. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
  16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  17. prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  18. pasar umum dan lapangan parkir umum;
  19. kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  20. kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  21. kawasan Industri yang diprakarsai dan/ataudikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha MilikDaerah;
  22. kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/ataudikuasai oleh Pemerintah Fusat, Pemerintah Daerah,Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha MilikDaerah;
  23. kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atauBadan Usaha Milik Daerah; dan
  24. kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsaidan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atauBadan Usaha Milik Daerah
Pasal 14
  1. Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pernerintah Instansi yang bersangkutan.
  1. Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan/atau Rencana Kerja Pemerintah/ instansi yang bersangkutan
Pasal 19
  1. Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak;
  2. Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati;
  3. Pelibatan Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak atas lokasi rencana pembangunan;
  4. Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan;
  5. Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur;
  6. Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
  1. Konsultasi Publik rencana pembangunansebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3)dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatanlokasi rencana pembangunan dari:
    1. Pihak yang Berhak;
    2. Pengelola Barang Milik Negara/Barang MilikDaerah; dan
    3. Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah;
  2. Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah,Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan untuk Kepentingan Umum atau di tempat yangdisepakati;
  3. Pelibatan Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihakyang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah atas lokasi rencana pembangunan;
  4. Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan;
  5. Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
  6. Gubernur menetapkan lokasi sebagaimanadimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14(empat belas) Hari terhitung sejak diterimanyapengajuan permohonan penetapan oleh Instansiyang memerlukan tanah;
  7. Pihak yang Berhak, Pengelola Barang MilikNegara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna BarangMilik Negara/Barang Milik Daerah yang tidakmenghadiri Konsultasi Publik setelah diundang 3(tiga) kali secara patut dianggap menyetujui rencanapembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publiksebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalamPeraturan Pemerintah.
Pasal 19A
  1. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, PengadaanTanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektare dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanahdengan Pihak yang Berhak;
  2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kesesuaian tata ruling wilayah
Pasal 19BDalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/walikota.
Pasal 19C
Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan,tidak diperlukan lagi persyaratan:

  1. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
  2. pertimbangan teknis;
  3. di luar kawasan hutan dan di luar Kawasan pertambangan;
  4. di luar kawasan gambut/sempadan pantai; dan
  5. analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Pasal 24
Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan dalam waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun
  1. Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat(6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangkawaktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu)kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun;
  2. Permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelummasa berlaku penetapan lokasi berakhir.
Pasal 28
  1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
    1. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah;
    2. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
  1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (21huruf a meliputi kegiatan;
    1. pengukuran dan pemetaan bidang per bidangtanah; dan
    2. pengumpulan data Pihak yang Berhak danObjek Pengadaan Tanah;
  2. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari;
  3. Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf b dapat dilakukan oleh penyurvei berlisensi;
Pasal 34
  1. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26;
  2. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara;
  3. Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
  1. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26;
  2. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasilpenilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat(1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara;
  3. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat(1) bersifat final dan mengikat;
  4. Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian;
  5. Musyawarah penetapan bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai dengan para Pihak yang Berhak.
Pasal 36
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:

  1. uang;
  2. tanah pengganti;
  3. permukiman kembali;
  4. kepemilikan saham; atau
  5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
  1. Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalambentuk:
    1. uang;
    2. tanah pengganti;
    3. pemukiman kembali;
    4. kepemilikan saham; atau
    5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak;
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 40
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak antara lain:

  1. pemegang hak atas tanah;
  2. pemegang hak pengelolaan;
  3. nadzir, un tuk tanah wakaf;
  4. pemilik tanah bekas milik adat;
  5. masyarakat hukum adat;
  6. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
  7. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/ atau
  8. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “pemegang dasar penguasaan atas tanah” adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang Berhak karenahukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atauahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasadari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian.Yang berhak antara lain:

  1. pemegang hak atas tanah;
  2. pemegang hak pengelolaan;
  3. nadzir, untuk tanah wakaf;
  4. pemilik tanah bekas milik adat;
  5. masyarakat hukum adat;
  6. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baikantara lain tanah terlantar, tanah bekas hak barat.
  7. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
  8. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Yang dimaksud dengan “pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik” adalah:

  1. penguasaan tanah yang diakui oleh peraturan perundang-undangan;
  2. tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain,atau pihak lain atas penguasaan Tanah baik sebelum maupun selama pengumuman berlangsung; dan
  3. penguasaan dibuktikan dengan kesaksian dari 2 (dua)orang saksi yang dapat dipercaya;

Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atauhak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya,Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, ataubenda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakathukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasaitanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalahpemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 42
  1. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk danl atau besamya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat;
  2. Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap: a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau .Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
    1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
    2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
    3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
    4. menjadi jaminan di bank.
  1. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerrrgian berdasarkanhasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksuddalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan dipengadilan negeri setempat;
  2. Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
    1. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugiantidak diketahui keberadaannya; atau
    2. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
      • sedang menjadi objek perkara dipengadilan;
      • masih dipersengketakan kepemilikannya;
      • diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
      • menjadi jaminan di Bank;
  3.   Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat (2).
Pasal 46
  1. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasa! 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
    1. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan;
    2. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/ atau
    3. Objek Pengadaan Tanah kas desa.
  2. Ganti Kerugian’ atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c diberikan dalam bentuk tanah dan/ atau bangunan atau relokasi;
  3. Ganti Kerugian atas objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36;
  1. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidakdiberikan Ganti Kerugian, kecuali:
    1. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakansesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan;
    2. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasaioleh Badan Usaha Milik Negara/Badan UsahaMilik Daerah; dan/atau
    3. Objek Pengadaan Tanah kas desa;
  2. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanahsebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunanatau relokasi;
  3. Ganti Kemgian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36;
  4. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah KasDesa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
  5. Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 21 ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);
  6. Nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang diganti.

 

3. Bagian Ketiga (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan)

            Pada bagian ini terdiri dari ketentuan Pasal 124 yang mengubah ketentuan dalam Pasal 44 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU Perlindungan Lahan Pangan).

Tabel 1.2 Perbandingan Perubahan Pasal UU Perlindungan Lahan Pangan dalam UU Cipta Kerja

PasalUU Perlindungan Lahan PanganPerubahan dalam UU Cipta Kerja
Pasal 44(1)     Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan;

(2)     Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3)     Pengalihfungsian Lahanyang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:

a.         dilakukan kajian kelayakan strategis;

b.        disusun rencana alih fungsi lahan;

c.         dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan

d.        disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

(4)      Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan;

(5)      Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan;

(6)      Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(1)     Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih fungsikan;

(2)     Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialih fungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan;

(3)     Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:

a.    dilakukan kajian kelayakan strategis;

b.    disusun rencana alih fungsi lahan;

c.     dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik;dan

d.    disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan

(4)   Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud padaayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan;

(5)   Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alihfungsi dilakukan

(6)   Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 73Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

4. Bagian Keempat (Pertanahan)

            Pada bagian ke empat terdiri dari ketentuan Pasal 125 sampai dengan Pasal 147 UU Cipta Kerja. Pada bagian ini tidak merubah ketentuan dalam peraturan hukum pertanahan, melainkan membuat aturan baru terkait dengan Bank Tanah, Penguatan Hak Pengelolaan, Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing, dan Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah. Terkait dengan bank tanah merupakan badan yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat yang berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Ketentuan mengenai Bank Tanah diatur dalam ketentuan Pasal 125 sampai dengan Pasal 135 UU Cipta Kerja.

           Kemudian terhadap hak pengelolaan diatur dalam ketentuan Pasal 136 sampai dengan Pasal 142. Lebih lanjut pengaturan mengenai Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing diatur dalam ketentuan Pasal 143 sampai dengan Pasal 145 UU Cipta Kerja. Orang asing yang memiliki hak atas satuan rumah susun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 144 ayat (1) huruf d dan e UU Cipta Kerja yaitu badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia atau perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia. Sebelumnya ketentuan mengenai siapa-siapa yang bisa mendapatkan hak milik atas satuan rumah susun diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut UU Rumah Susun). Pasal 47 ayat (2) UU Rumah Susun disebutkan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) sarusun diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 47 ayat (1) UU Rumah Susun juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) orang asing dapat memiliki SHM apabila rumah susun berdiri diatas tanah hak pakai. Sedangkan, untuk ketentuan mengenai Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah diatur dalam ketentuan Pasal 146 sampai dengan Pasal 147 UU Cipta Kerja.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.