Perubahan Terkait Hukum Pertanahan dalam Omnibus Law
Omnibus Law merupakan susunan peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini menyita perhatian masyarakat. Omnibus Law dikenal setelah disampaikan dalam pidato kenegaraan pelantikan Presiden di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2019 lalu. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tanggal 4 Oktober 2020 tanpa nomor, sehingga memicu aksi protes masyarakat di berbagai daerah. Alasan aksi yang terjadi di berbagai daerah yaitu karena masyarakat menganggap DPR terkesan terburu-buru serta terkait beberapa peraturan didalamnya dianggap lebih memihak pada investasi asing dengan mengesampingkan hak-hak rakyat Indonesia khususnya pekerja/buruh. Terjadinya aksi penolakan diberbagai daerah lantas tidak menyurutkan niat pemerintah untuk mengesahkan undang-undang tersebut. Kemudian pada tanggal 2 November 2020 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) atau dikenal dengan Omnibus Law disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
UU Cipta Kerja salah satunya memuat tentang perubahan terhadap aturan hukum tanah di Indonesia. Hukum tanah yang diubah melalui UU Cipta Kerja dimuat dalam Bab VIII tentang Pengadaan Tanah yang terdiri dari ketentuan Pasal 122 sampai dengan Pasal 147. Bab VIII tentang Pengadaan Tanah dalam UU Cipta Kerja dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
- Bagian Kesatu (Umum)
Pada bagian kesatu terdiri atas ketentuan Pasal 122 UU Cipta Kerja yang menyatakan hal-hal sebagai berikut :
“Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja,Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20I2 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20l2 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068).”
2. Bagian Kedua (Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum)
Pada bagian kedua terdiri atas ketentuan Pasal 123 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah). Pasal-pasal yang dirubah berdasarkan ketentuan Pasal 123 UU Cipta Kerja yaitu sebagai berikut :
Tabel 1.1 Perbandingan Perubahan Pasal UU Pengadaan Tanah dalam UU Cipta Kerja
Pasal yang diubah | UU Pengadaan Tanah | Perubahan dalam UU Cipta Kerja |
Pasal 8 | Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini |
|
Pasal 10 | Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
| Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
|
Pasal 14 |
|
|
Pasal 19 |
|
|
Pasal 19A |
| |
Pasal 19B | Dalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/walikota. | |
Pasal 19C | Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan,tidak diperlukan lagi persyaratan:
| |
Pasal 24 | Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan dalam waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun |
|
Pasal 28 |
|
|
Pasal 34 |
|
|
Pasal 36 | Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
|
|
Penjelasan Pasal 40 | Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak antara lain:
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “pemegang dasar penguasaan atas tanah” adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. | Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang Berhak karenahukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atauahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasadari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian.Yang berhak antara lain:
Yang dimaksud dengan “pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik” adalah:
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atauhak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya,Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, ataubenda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakathukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasaitanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalahpemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 42 |
|
|
Pasal 46 |
|
|
3. Bagian Ketiga (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan)
Pada bagian ini terdiri dari ketentuan Pasal 124 yang mengubah ketentuan dalam Pasal 44 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU Perlindungan Lahan Pangan).
Tabel 1.2 Perbandingan Perubahan Pasal UU Perlindungan Lahan Pangan dalam UU Cipta Kerja
Pasal | UU Perlindungan Lahan Pangan | Perubahan dalam UU Cipta Kerja |
Pasal 44 | (1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan; (2) Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Pengalihfungsian Lahanyang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. dilakukan kajian kelayakan strategis; b. disusun rencana alih fungsi lahan; c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan. (4) Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan; (5) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan; (6) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | (1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih fungsikan; (2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialih fungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan; (3) Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. dilakukan kajian kelayakan strategis; b. disusun rencana alih fungsi lahan; c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik;dan d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan (4) Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud padaayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan; (5) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alihfungsi dilakukan (6) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 73 | Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). | Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
4. Bagian Keempat (Pertanahan)
Pada bagian ke empat terdiri dari ketentuan Pasal 125 sampai dengan Pasal 147 UU Cipta Kerja. Pada bagian ini tidak merubah ketentuan dalam peraturan hukum pertanahan, melainkan membuat aturan baru terkait dengan Bank Tanah, Penguatan Hak Pengelolaan, Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing, dan Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah. Terkait dengan bank tanah merupakan badan yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat yang berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Ketentuan mengenai Bank Tanah diatur dalam ketentuan Pasal 125 sampai dengan Pasal 135 UU Cipta Kerja.
Kemudian terhadap hak pengelolaan diatur dalam ketentuan Pasal 136 sampai dengan Pasal 142. Lebih lanjut pengaturan mengenai Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing diatur dalam ketentuan Pasal 143 sampai dengan Pasal 145 UU Cipta Kerja. Orang asing yang memiliki hak atas satuan rumah susun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 144 ayat (1) huruf d dan e UU Cipta Kerja yaitu badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia atau perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia. Sebelumnya ketentuan mengenai siapa-siapa yang bisa mendapatkan hak milik atas satuan rumah susun diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut UU Rumah Susun). Pasal 47 ayat (2) UU Rumah Susun disebutkan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) sarusun diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 47 ayat (1) UU Rumah Susun juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) orang asing dapat memiliki SHM apabila rumah susun berdiri diatas tanah hak pakai. Sedangkan, untuk ketentuan mengenai Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah diatur dalam ketentuan Pasal 146 sampai dengan Pasal 147 UU Cipta Kerja.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanHak Imunitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Macam-macam Peralihan Hak Atas Tanah
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.