
Taman Nasional Tesso Nilo: Benturan Kepentingan Hukum Kawasan Hutan Lindung Dengan Kepentingan Masyarakat dan Investasi
UU 41/1999, sebagaimana telah diubah melalui UU Cipta Kerja, menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan tanpa izin dari pejabat berwenang merupakan tindak pidana. Dalam Pasal 78 ayat (2) UU 41/1999 disebutkan bahwa pelaku dapat dijatuhi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga 5 miliar rupiah. Ketentuan ini mencakup tindakan seperti membuka lahan, mendirikan bangunan, atau menanam tanaman di kawasan konservasi tanpa izin. Pelanggaran tersebut tidak hanya merusak hutan tetapi juga mengancam spesies flora dan fauna yang dilindungi, serta mempercepat degradasi lingkungan. Meskipun demikian, pemerintah tidak semata-mata menerapkan pendekatan represif terhadap masyarakat yang sudah terlanjur bermukim di kawasan konservasi. Melalui program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Konservasi yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengelola lahan secara terbatas dan berkelanjutan tanpa mengubah status kawasan, artinya ketentuan yang demikian juga tidak menjadikan adanya alasan pemaaf bagi pelaku pendudukan ilegal dalam Taman Nasional Tesso Nilo.

Penyitaan Dalam KUHAP
Istilah “pengadilan setempat” dalam Pasal 38 KUHAP merujuk pada pengadilan negeri yang memiliki yurisdiksi wilayah atas tempat dilakukannya tindakan penyitaan. Pasal 38 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa “penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat,” sedangkan ayat (2) dalam pasal tersebut mengatur bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik yang telah melakukan penyitaan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk memperoleh persetujuan. Maka dapat diilhami bahwa frasa “setempat” di sini menegaskan asas territorialitas, yaitu bahwa setiap tindakan penyitaan harus mendapat izin atau persetujuan dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tempat tindakan tersebut dilakukan. Oleh karenanya, penyitaan dalam KUHAP mengatur bahwa izin tidak harus diberikan oleh ketua pengadilan tempat barang dimaksud berada, sebab tidak menutup kemungkinan barang tersebut juga dibawa ke beberapa tempat setelah tindak pidana terjadi.

Dari Pondok Pesantren Ambruk ke APBN: Menimbang Ulang Peran Negara dalam Pembangunan Ponpes
UU 18/2019 memberikan pengakuan formal kepada pondok pesantren sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Pasal-pasal terkait (termasuk ketentuan unsur pendirian dan amanat mengenai dana abadi pesantren) membuka ruang hukum agar pesantren dapat menjadi penerima fasilitasi dan pembiayaan publik apabila memenuhi syarat administratif dan teknis. Dengan demikian, pesantren yang diakui oleh negara dapat menjadi objek alokasi APBN/APBD dalam rangka pemenuhan hak pendidikan dan perlindungan keselamatan santri.
Penggunaan APBN untuk pendidikan tunduk pada mekanisme pengawasan yang diatur oleh undang-undang: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab. Keuangan Negara (selanjutnya disebut “UU 15/2004”) memberikan dasar hukum bagi BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk program pendidikan yang dibiayai APBN. Praktik audit eksternal (BPK), audit internal (BPKP/Kementerian terkait), dan persyaratan pelaporan akuntabel harus menjadi bagian dari desain program agar alokasi untuk pendidikan tidak menimbulkan penyalahgunaan atau inefisiensi.

Memahami Seputar KDRT Fisik dan Psikis
Bentuk KDRT Fisik dan Psikis:
KDRT fisik merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota keluarganya dengan cara menimbulkan rasa sakit, luka, atau penderitaan pada tubuh korban. Berdasarkan UU PKDRT, KDRT fisik mencakup tindakan seperti memukul, menendang, menampar, menendang, atau perbuatan lain yang mengakibatkan cedera fisik atau rasa sakit pada korban. Oleh karena itu, bentuk-bentuk KDRT fisik dapat berupa pemukulan dengan tangan atau benda keras, penendangan, penyiksaan menggunakan alat, pencekikan, pembakaran, hingga tindakan yang menyebabkan luka berat atau kematian.
Bentuk-bentuk KDRT psikis meliputi penghinaan, intimidasi, pengucilan sosial, pembatasan komunikasi, ancaman perceraian, hingga manipulasi emosional yang bertujuan untuk menundukkan atau mengendalikan korban. Kekerasan psikis dalam rumah tangga kerap muncul sebagai mekanisme dominasi patriarkal yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Dalam kasus ini, pentingnya peran psikiatri forensik dalam mengidentifikasi dampak jangka panjang kekerasan psikis, seperti depresi, trauma, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Secara hukum pelaku KDRT psikis dapat dijerat dengan Pasal 45 UU PKDRT, yang mengatur pidana penjara hingga tiga tahun atau denda bagi siapa pun yang menyebabkan penderitaan mental terhadap pasangan atau anggota keluarga.

Penahanan Barang Untuk Pemeriksaan Bea Cukai
Akibat dari tidak keluarnya barang dari kawasan pabean dapat bersifat ekonomi, hukum, dan reputasional. Secara ekonomi, penahanan barang menyebabkan biaya logistik meningkat akibat penumpukan di pelabuhan serta demurrage charges yang harus ditanggung eksportir. Secara hukum, eksportir dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda atau pencabutan izin kepabeanan apabila terbukti lalai atau melanggar ketentuan ekspor. Selain itu penundaan proses ekspor dapat berimplikasi pada kerugian negara akibat tidak tercapainya target devisa ekspor dan potensi sengketa hukum dengan pelaku usaha.
