Janda Sebagai Ahli Waris dan Haknya Terhadap Harta Bersama dan Harta Bawaan Pewaris

Pertanyaan
Assalamualaikumwr WB saya ibu Salbiah sorang janda di tinggal mati suami,umur saya 50 THN, almarhum suami memiliki 2org anak,anak pertama seorang putri dari mantan istrinya dan dari saya serang putra, pertanyaannya, saya dan almarhum membangun tempat usaha dengan modal pinjaman dari saudara saya tapi masalahnya bangunan itu di bangun di atas tanah warisan almarhum suami saya dan sekarang bangunan itu mau di kuasai oleh anak tiri saya dan ipar tertua saya mengatakan bahwa saya sebagai janda almarhum adiknya tidak berhak atas bangunan itu ,pertanyaan saya apakah saya tidak bisa tetap memiliki bangunan itu?Ulasan Lengkap
Terima kasih atas pertanyaan Saudara,
Dalam pertanyaan Saudara, tidak disebutkan mengenai hukum waris yang digunakan. Di Indonesia sendiri terdiri 3 (tiga) hukum waris yang dapat digunakan, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris KUH Perdata, dan Hukum Waris Adat, sehingga dalam memberikan jawaban kami akan menggunakan dasar Hukum Waris Islam dan Hukum Waris KUH Perdata.
Adapun dalam hal ini, kami juga mengasumsikan bahwa saat Suami Saudara meninggal dunia, Almarhum masih terikat perkawinan dengan Saudara, sehingga Saudara merupakan Janda Cerai Mati.
Janda Sebagai Ahli Waris
Baik dalam Hukum Waris Islam yang tunduk pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut “KHI”), maupun dalam Hukum Waris KUH Perdata, waris terbuka dan terjadi karena meninggalnya seseorang. Seseroang yang meninggal dunia tersebut disebut dengan Pewaris, harta yang ditinggalkan disebut Harta Waris, dan orang yang berhak atas Harta Waris disebut dengan Ahli Waris.
Pembagian waris dalam Hukum Waris KUH Perdata dengan Hukum Waris Islam berbeda. Hukum Waris KUH Perdata mengatur apabila Pewaris meninggalkan anak dan pasangan, maka hanya anak dan pasangan tersebut yang memiliki hak waris. Sedangkan Hukum Waris Islam memberikan hak tidak hanya kepada anak dan pasangan, melainkan juga kepada ayah atau ibu dari Pewaris.
Dalam kasus yang Saudara tanyakan, apabila Saudara menggunakan Hukum Waris Islam, maka yang berhak untuk menjadi Ahli Waris adalah Saudara sebagai Janda Cerai Mati, Anak Pertama Almarhum, dan Anak Kedua Almarhum, serta orangtua Pewaris jika masih hidup saat Pewaris meninggal dunia. Namun apabila hukum waris yang digunakan adalah Hukum Waris KUH Perdata, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Saudara sebagai Janda Cerai Mati, Anak Pertama Almarhum, dan Anak Kedua Almarhum.
Dengan demikian, Saudara memiliki hak untuk menjadi Ahli Waris. Untuk itu juga, Saudara berhak untuk memperoleh Harta Waris yang ditinggalkan oleh Pewaris.
Harta Bawaan dan Harta Bersama
Pengaturan tentang Harta Bawaan dan Harta Bersama terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan”). Kedua harta tersebut memiliki pengertian dan hak yang berbeda.
Harta Bawaan merupakan harta yang diperoleh Suami/Istri sebelum terjadinya perkawinan, atau harta waris/hibah yang diperoleh Suami/istri. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan:
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Harta bawaan tersebut kemudian sepenuhnya menjadi Harta Waris dari Pewaris yang harus dibagi berdasarkan Hukum Waris yang digunakan.
Selanjutnya Harta Bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Terhadap harta bersama tersebut, apabila terdapat perceraian maka harus dibagi antara suami dan istri sama rata. Namun apabila Suami/Istri meninggal dunia, maka harta bersama tersebut harus dibagi 2 (dua) terlebih dahulu, dan bagian dari Janda/Duda yang ditinggalkan tidak boleh dijadikan Harta Waris.
Pembagian Waris Harta Bawaan dan Harta Bersama
Harta waris bukan hanya dalam bentuk aktiva atau keuntungan saja, melainkan juga dalam bentuk pasiva. Apabila Hukum Waris yang digunakan adalah Hukum Waris Islam, maka hutang harus terlebih dahulu diselesaikan dari harta-harta yang ditinggalkan oleh Pewaris. Hutang yang timbul dalam perkawinan juga merupakan Harta Bersama, sehingga Hutang tersebut harus terlebih dahulu dibagi 2 (dua) dan ½ dari hutang tersebut merupakan hutang Pewaris. Namun demikian, apabila hukum waris yang digunakan adalah Hukum KUH Perdata, maka hutang tersebut termasuk sebagai harta waris yang harus dibayar oleh Ahli Waris.
Dalam pertanyaan Saudara, disebutkan bahwa Harta Waris berupa tanah yang ditinggalkan adalah warisan Suami Saudara, yang kami asumsikan sebagai Harta Bawaan Suami Saudara. Oleh karena itu, Hak Atas Tanah tersebut merupakan Harta Waris yang harus dibagi antara Saudara, Anak Pertama Almarhum, dan Anak Kedua Almarhum sesuai pembagian dalam Hukum Waris yang digunakan.
Selanjutnya, bangunan yang berada di atas tanah tersebut merupakan bangunan yang didirikan dari hutang yang diperoleh dari hutang kepada saudara Saudara, yang dengan demikian kami mengasumsikan hutang tersebut diperoleh saat perkawinan dan menjadi Harta Bersama. Oleh karena itu, nilai dari bangunan tersebut harus dibagi 2 (dua) terlebih dahulu yaitu antara Saudara dengan Almarhum. Nilai yang menjadi bagian dari Almarhum merupakan Harta Waris yang harus dibagi antara Saudara, Anak Pertama Almarhum, dan Anak Kedua Almarhum.
Berkaitan dengan usaha, perlu diketahui terlebih dahulu bentuk usaha tersebut. Manakala usaha berbentuk Perseroan Terbatas, maka saham milik Pewaris harus dibagi 2 (dua) terlebih dahulu, dimana ½ milik Saudara, dan ½ lagi adalah Harta Waris. Harta waris berupa saham tersebut harus dibagi di antara Para Ahli Waris.
Di sisi lain, apabila usaha adalah dalam bentuk selain perseroan, maka pembagian adalah berdasarkan harta Badan Usaha, yang dibagi 2 (dua) terlebih dahulu. Bagian ½ dari harta Badan Usaha tersebut merupakan Harta Waris, dan ½ lainnya adalah harta Saudara yang tidak boleh dibagi waris.
Meski demikian, pembagian waris tidak harus dengan cara seluruh barang dijual dan dibagi sesuai nilai bagian masing-masing Ahli Waris. Pembagian waris juga dapat dilakukan dengan cara menghitung seluruh nilai Harta Waris, untuk kemudian dibagikan per barang kepada setiap Ahli Waris. Apabila terdapat Harta Waris lainnya, maka Anak Pertama dapat memperoleh tanah dan bangunan tersebut, sedangkan Saudara memperoleh Harta Waris lainnya, atau sebaliknya, dengan catatan Harta Bersama yang merupakan Bagian Saudara juga harus diperhitungkan atau diganti dan tidak boleh menjadi milik Ahli Waris lainnya. Pembagian dengan cara tersebut hanya sah apabila disepakati oleh seluruh Ahli Waris.
Oleh karena itu, apabila Anak Pertama Pewaris bermaksud menguasai tanah dan bangunan tersebut, maka harus ada Harta Waris lain yang dapat diberikan kepada Saudara dan Anak Kedua Pewaris dengan nilai yang sesuai dengan Harta Bersama Bagian Saudara dan Harta Waris Bagian Saudara serta Anak Kedua Pewaris. Apabila tidak ada Harta Waris lainnya, maka Anak Pertama Pewaris tidak memiliki hak untuk menguasai sendiri tanah dan bangunan serta Badan Usaha tersebut.
Untuk memberikan kepastian tentang pihak-pihak yang berhak untuk menjadi Ahli Waris, Saudara dapat mengajukan permohonan penetapan waris kepada pengadilan. Apabila Saudara menggunakan Hukum Waris Islam, maka permohonan penetapan waris diajukan kepada Pengadilan Agama tempat Pewaris meninggal dunia. Apabila Saudara menggunakan Hukum Waris KUH Perdata, maka permohonan penetapan waris diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat Pewaris meninggal dunia.
Setelah permohonan penetapan waris terbit, Saudara dapat meminta dilakukan pembagian harta waris untuk menghindari adanya pertikaian di dalam keluarga. Pembagian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara di atas. Namun jika Anak Pertama Pewaris kukuh tidak ingin membagi Harta Waris yang ada dengan Ahli Waris lainnya, maka Saudara dapat mengajukan gugatan waris kepada Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri tempat domisili Anak Pertama Pewaris.
Dengan demikian, Saudara yang merupakan istri Pewaris memiliki hak sebagai Ahli Waris. Janda sebagai Ahli Waris juga berhak atas Harta Waris yang ditinggalkan oleh Pewaris. Terlebih, harta bersama yang diperoleh Pewaris dan Janda saat dalam perkawinan, harus dibagi 2 (dua) terlebih dahulu, dimana 1/2 merupakan Harta Waris, dan 1/2 lagi merupakan harta yang haknya sepenuhnya dimiliki Janda.
Bagaimanapun, tanpa adanya penetapan waris dan kesepakatan pembagian, Anak Pertama Pewaris tidak berhak untuk melakukan balik nama terhadap hak atas tanah tersebut secara sepihak. Apabila hal tersebut dilakukan, maka Anak Pertama Pewaris dapat diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUH Pidana.
Demikian jawaban atas pertanyaan Saudara. Semoga bermanfaat.
Baca juga:
3 Pilihan Cara Membuat Surat Keterangan Ahli Waris
Cara Membuat Surat Keterangan Ahli Waris di Kelurahan dan 8 Dokumen yang Harus Disiapkan
Anak Jadi Ahli Waris: Aturan Dalam Hukum Perdata Umum dan Hukum Islam
Pembagian Waris Menurut Hukum Islam
Waris dan Wasiat
Terhalangnya Hak Ahli Waris
Peralihan Saham Karena Pewarisan
Harta Bersama dan Perjanjian Perkawinan, Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 69/PUU-XIII/2015
3 Jenis Harta Dalam Pernikahan, Hak Suami dan Istri Selama Pernikahan dan Setelah Perceraian
Harta Gono Gini Pasangan Beda Kewarganegaraan
Tonton juga:
Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris| Janda Sebagai Ahli Waris|
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan