Hak Waris Tanpa Surat Wasiat

upaya hukum peninjauan kembali Photo by aaron-burden

Pertanyaan

Pd thn 74 silam saya lahir dr orang tua tdk mampu. Ibu saya masih dibawah umur untuk mengasuh saya sbgai anak ke 3. pada umur 4 bln. Saya diadopsi oleh bapak yg baik hati secara syah di pengadilan. Akte. Kk smua otomatis nama beliau. Beliau memiliki putri selisih 8thn dengan saya. Perjalanan waktu. Kami berdua tumbuh dengan baik. Istri dr bapak atau ibu angkat saya meninggal pada thn 92. saya saat itu klas 3 sma. Kami bertiga meneruskan hidup. Bapak bertemu jodohnya lagi pada thn 96 dan menikah. Kaka saya jg berumah tangga memiliki anak laki 2 orang. Thn 2000 kaka saya meninggal. Tinggal saya disini sbg anak adopsi. Thn 2014 bapak saya meninggal. Dengan banyak tanah dan rumah. Tetapi ibu sambung saya. Mengklaim bahwa bapak tdk punya apa2 .tinggal rumah sekarang yg dtempati. Yang saya tanyakan. Apa yg bisa saya lakukan. Apakah saya bisa mendapatkan hak warisan saya. Sedang bapak tdk menuliskan wasiatnya. Trimakasih sebelumnya. Smga smua langkah dimudahkan

Ulasan Lengkap

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara istilah “adopsi” dengan “pengangkatan anak”, dimana “adopsi” menghilangkan jejak orang tua kandung dalam Akta Kelahiran, sedangkan “pengangkatan anak” tidak menghilangkan nama orang tua kandung dalam Akta Kelahiran. Melihat kasus posisi Saudara yang menyatakan bahwa adopsi dilakukan pada tahun 1974, maka dasar adopsi tersebut adalah Staatsblaad Tahun 1917 Nomor 129, dimana yang berlaku adalah “adopsi” yang menghilangkan nama orang tua kandung dalam Akta Kelahiran.

Berkaitan dengan adopsi, maka seharusnya kedudukan anak adopsi tersebut sama atau setara dengan kedudukan anak kandung, yang dengan demikian hak mewarisnya pun juga sama. Namun demikian, Staatsblaad Tahun 1917 Nomor 129 juga memberikan batasan bagi anak adopsi, sehingga anak adopsi hanya memiliki hak waris terhadap harta yang tidak diwasiatkan.

Selanjutnya, berkaitan dengan kasus Saudara, dikarenakan ibu Saudara meninggal lebih dahulu, maka seharusnya ketika Ibu Saudara meninggal tersebut dilakukan pembagian waris dari bagian harta ibu. Disebut sebagai “bagian harta ibu”, sebab yang dapat menjadi harta waris dari Almarhum Ibu adalah harta bawaan Almarhum Ibu (harta yang diperoleh Almarhum sebelum pernikahan dengan ayah Saudara) dan setengah dari harta bersama (harta yang diperoleh pada saat pernikahan). Dengan demikian, ayah, kakak, dan Saudara memiliki hak waris dari Ibu.

Adapun setelah kakak meninggal, dikarenakan kakak telah memiliki anak, maka yang berhak untk menjadi ahli waris dari kakak adalah anak dan istri kakak, dan jika berdasar pada hukum waris Islam maka ayah Saudara saat itu juga berhak untuk menjadi ahli waris. Sehingga, dalam hal meninggalnya kakak, harus terlebih dahulu diperhatikan hukum waris apa yang digunakan guna mengetahui apakah ayah memperoleh harta waris atau tidak.

Ketika ayah meninggal, maka harta bersama yang diperoleh ayah dan ibu sambung pada saat pernikahan mereka harus dibagi 2 (dua), sehingga harta waris ayah terdiri atas harta waris dari Ibu (saat Ibu telah meninggal), harta waris dari kakak (saat kakak meninggal dan apabila saat itu menggunakan hukum waris Islam), serta setengah harta bersama dari pernikahan ayah dengan ibu sambung. Adapun yang berhak menjadi ahli waris ayah adalah Ibu Sambung, Saudara, dan anak-anak kakak Saudara yang berkedudukan sebagai ahli waris pengganti (silahkan baca artikel dengan judul Ahli Waris Pengganti). Oleh karena itu, guna mengetahui apakah ayah Saudara benar-benar tidak memiliki apapun, maka terlebih dahulu harus ditelusuri perolehan harta-harta yang ditinggalkan. Apabila barang yang ditinggalkan memang diperoleh saat pernikahan dengan ibu sambung, maka nilai hara tersebut harus dibagi 2 (dua) terlebih dahulu dan barulah bagian milik ayah yang dibagikan kepada Para Ahli Waris.

Sebagai ahli waris, Saudara dapat meminta hak-hak Saudara tersebut di atas, termasuk namun tidak terbatas hak untuk mengetahui harta-harta yang ditinggalkan oleh ayah Saudara. Selanjutnya, Saudara dan para ahli waris lainnya dapat meminta penetapan ahli waris melalui penetapan pengadilan atau akta notaris. Manakala ibu sambung Saudara tidak berkenan untuk bersifat terbuka atau melakukan pembagian, maka Saudara dapat mencoba untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan terlebih dahulu, dan apabila cara kekeluargaan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah maka Saudara dapat mengajukan gugatan pembagian harta waris ke Pengadilan Agama (jika menggunakan hukum waris Islam) atau ke Pengadilan Negeri (jika menggunakan hukum waris selain Islam).

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan