Tahapan Proses Sebelum Melakukan PHK

Photo by Vijay Putra on Pexels

Pertanyaan

Bagaimana proses PHK yang benar, apabila tenaga kerja dan perusahaan tidak sepakat atas PHK tersebut?

Ulasan Lengkap

Seseorang dalam hal mengikatkan diri untuk berkerja disuatu perusahaan harus berdasarkan atas perjanjian kerja, baik perjanjian kerja secara tertulis maupun perjanjian kerja secara lisan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) menyatakan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila :

  1. Pekerja meninggal dunia;
  2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
  3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Berakhirnya perjanjian kerja merupakan salah satu bentuk berakhirnya suatu hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan. Bentuk berakhirnya hubungan kerja yang lain, dapat dilakukan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut PHK).

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK dapat terjadi karena pengusaha atau pekerjanya. Apabila pihak pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja waktu tertentu sebelum jangka waktu perpanjangan berakhir, maka pengusaha wajib membayar ganti rugi kepada pekerja sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Sedangkan akibat PHK oleh pengusaha terhadap pekerja waktu tidak tertentu (tetap) adalah pembayaran pesangon. Pada dasarnya pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK sebagaimana ketentuan dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Apabila segala upaya untuk tidak melakukan PHK sudah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka PHK hendaknya dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut :

  1. PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana ketentuan dalam Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan;
  2. Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan atau persetujuan dari pekerja, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana ketentuan dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Pada dasarnya lembaga penyelesaian hubungan industrial tidak didefinisikan secara eksplisit dalam UU Ketengakerjaan, akan tetapi dapat diartikan bahwa lembaga penyelesaian hubungan industrial yang dimaksud yaitu lembaga bipartit dan lembaga tripartit yang berhak menangani suatu perselisihan hubungan industrial sebelum diajukannya gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial;
  3. Pengajuan permohonan PHK diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 152 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;
  4. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat mengabulkan permohonan, jika perundingan telah benar-benar dilakukan tetapi tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 152 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan;
  5. PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, berakibat batal demi hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;
  6. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 154 UU Ketenagakerjaan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan dalam hal :
    1. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
    2. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauansendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
    3. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
    4. pekerja/buruh meninggal dunia.
  7. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan;
  8. Apabila melakukan PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana ketentuan dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan;

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :

  1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  4. pekerja/buruh menikah;
  5. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  6. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
  7. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  8. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  9. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
  10. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Namun, dalam hal pekerja melakukan kesalahan-kesalahan berat, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana ketentuan dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa :

“Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasanpekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

    1. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
    2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
    3. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
    4. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
    5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
    6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
    8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
    9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
    10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih”

Kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus disertai dengan bukti kuat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 158 ayat (2) UU Ketenagakerjaan berupa pekerja/buruh tertangkap tangan, adanya pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, dan/atau berupa bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dengan didukung minimal 2 (dua) orang saksi. Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dinyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat yang dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan bahwa :

Menimbang bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku

Sebagai peraturan lanjutan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003, maka diterbitkannya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan :

    1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158; Pasal 159 ; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenal anak kalimat “….bukan atas pengaduan pengusaha”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat ….Pasal 158 ayat (1) … ” Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …. ” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    2. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.
    3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
      1. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
      2. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.”

Berdasarkan hal tersebut, maka pengusaha tidak dapat melakukan PHK terhadap karyawannya hanya berdasarkan bukti yang ditentukan dalam Pasal 158 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, melainkan harus menunggu adanya putusan pidana dari Pengadilan Negeri.

Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan PHK, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Terhadap PHK tersebut, maka pengusaha wajib memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang besarannya ditentukan dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Sedangkan terhadap pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, maka hanya mendapatkan uang penggantian hak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 162 ayat (3), yaitu :

    1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
    2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
    3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan