Ketentuan Hibah Dalam KUH Perdata dan KHI

Akta RUPS Dewan Komisaris dalam Perseroan Terbatas Photo by Pexels Rodnae Productions

Pertanyaan

Kakek buyut saya menghibahkan tanahnya kepada cucunya yaitu ayah saya,tapi kenapa saudara ayah saya keberatan,mereka mengatakan kalau mereka berhak juga atas tanah tersebut padahal ini sudah berlangsung sejak lama sebelum adanya saya,dan sudah sah bersertifikat atas nama ayah saya

Ulasan Lengkap

Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara berikan.

Ketentuan penghibahan yang berlaku di Indonesia diatur dalam hukum perdata dan  Kompilasi Hukum Islam diperbolehkan. Ketentuan Hibah dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berbunyi sebagai berikut:

Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahanpenghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hibah termasuk perjanjian sepihak, dimana hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban atas perjanjian ini, yaitu si penghibah, sedangkan pihak yang menerima hibah sama sekali tidak mempunyai kewajiban. Menurut R. Subekti, Penghibahan termasuk perjanjian “dengan Cuma-Cuma” (om niet) dimana perkataan “dengan Cuma-Cuma” itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan.

Sementara dalam hukum Islam, hibah diartikan pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain yang masih hidup untuk dimiliki sebagaimana dimaksud Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya menurut Pasal 210 KHI mengatur bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Dengan demikian apabila seseorang yang menghibahkan harta yang bukan merupakan haknya, maka hibahnya menjadi batal.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa setiap orang boleh memberi atau menerima hibah, kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak cakap untuk itu. Selain itu, unsur kerelaan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa adanya paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam pelaksanaan hibah. Dalam pelaksanaannya, seringkali terjadinya pembatalan hibah dikarenakan pihak penerima hibah tidak memenuhi persyaratan dalam menjalankan hibah yang telah diberikan.

Berkaitan dengan permasalahan Saudara, perlu dilakukan pengecekan terhadap proses penghibahan sewaktu Kakek Buyut Saudara menghibahkan tanah tersebut kepada Ayah Saudara. Sebab, dalam KUH Perdata memperbolehkan adanya pembatalan hibah apabila syarat-syarat yang ditentukan tidak terpenuhi. Merujuk Pasal 1688 KUH Perdata menyatakan bahwa:

Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:

  1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
  2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;
  3. Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.

Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban beban yang melekat di atas barang tersebut. Sementara dalam KHI sendiri, hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 212 KHI. Dalam hal ini hubungan Ayah Saudara dengan Kakek Buyut Saudara adalah hubungan kakek dengan cucu. Sehingga Kakek Buyut Saudara boleh menghibahkan harta kepada Ayah Saudara, dikarenakan Ayah Saudara bukanlah ahli waris yang berhak mendapatkan warisan tatkala Kakek Buyut Saudara meninggal dunia.

Di samping itu, baik dalam Hukum Islam maupun KUH Perdata, hibah yang melebihi legitime portie juga dapat dibatalkan. Hal tersebut dikarenakan KUH Perdata maupun KHI memberikan batasan nilai harta yang dapat dihibahkan dan dikeluarkan dari harta waris, guna melindungi hak para ahli waris.

Adapun pada dasarnya Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960) telah mengatur bahwa sertifikat adalah bukti hak atas tanah yang sah, sebab hak atas tanah adalah benda tidak bergerak. Oleh karena itu, pada dasarnya hak atas tanah yang sudah miliki Ayah Saudara tersebut adalah sepenuhnya milik ayah Saudara kecuali dibuktikan lain. Gugatan dari pihak lain hanya dapat diajukan paling lambat 20 tahun sejak kepemilikan tersebut timbul, sebagaimana Pasal 1963 KUH Perdata yang berbunyi:

Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu.

Untuk itu saran kami, Saudara perlu mengecek secara detail riwayat hibah yang dilakukan oleh Kakek Buyut Saudara terlebih dahulu baik dokumen, kronologis dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Setelah itu, menyesuaikan dengan syarat-syarat hibah yang diatur baik dalam KUH Perdata maupun dalam KHI. Apabila telah sesuai dan memenuhi syarat, maka keberatan dari saudara Ayah (Paman/Bibi Saudara) tidak perlu dikhawatirkan meskipun dipermasalahkan.

Demikian jawaban yang kami berikan, semoga dapat menjawab permasalahan hukum Saudara

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan