Kedudukan Wasiat Terhadap Pembagian Waris Anak Angkat
Pertanyaan
Jadi, saya adalah pria berusia 50 tahun. Dimana orang tua saya memiliki anak 9 orang. Jadi kami ada 9 bersaudara kandung. Saya memiliki 3 anak, salah satu dari anak itu saya berikan kepada kakak kandung saya dikarenakan dia tidak memiliki anak. Anak tersebut sudah diurusnya dari kecil hingga saat ini sudah kuliah. Selang beberapa waktu yang lalu, kakak kandung saya tersebut meninggal dunia dikarenakan sakit. Akhirnya anak kandung saya yang diangkat anak oleh kakak saya tersebut sisa berdua dengan bapaknya saja. Dikarenakan kakak kandung saya tersebut sudah meninggal, alhasil seluruh saudara kandung saya yang lain mulai menuntut warisannya agar segera diberikan kepada saudara kandungnya, sedangkan kakak kandung saya berpesan sebelum meninggal bahwa seluruh warisan harus jatuh kepada anak angkatnya. Jadi pertanyaannya:- Saksi wasiat sebelum kakak kandung saya meninggal hanya disebutkan secara lisan atau tidak tertulis dihadapan beberapa orang saja. Apakah ini bisa sah?
- Apabila seluruh aset dari kakak kandung saya dijual dan dibagikan kepada saudara kandungnya, apakah anak angkatnya tetap mendapatkan bagian? Dan bagaimana pembagiannya secara hukum?
- Apakah jika seluruh aset kakak kandung saya ingin dibalik nama kepada anak angkat nya, apakah perlu persetujuan dari seluruh saudara kandung saya?
Ulasan Lengkap
Terima kasih atas pertanyaan saudara, berdasarkan pertanyaan yang saudara sampaikan terlebih dahulu akan kami paparkan tentang status anak angkat dalam keluarga dan/atau orang tua angkatnya. Perlu diketahui bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), pengangkatan anak tidaklah membuat status dan nama orang tua kandung hilang pada akta kelahiran anak angkat, melainkan akan tetap tercantum di akta kelahiran anak angkat sebagai orang tua kandung. Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan Saudara, maka kami asumsikan bahwa pengangkatan anak terjadi sebelum berlakunya UU Adminduk.
Perlu diketahui bahwa ada 3 (tiga) hukum pembagian waris yang berlaku di Indonesia yaitu waris berdasarkan hukum perdata umum, waris berdasarkan hukum Islam, dan waris berdasarkan hukum adat. Ketiga hukum tersebut juga mengatur tentang wasiat. Namun pada dasarnya, wasiat yang berlaku adalah wasiat di dalam KUH Perdata karena tercatat dan bahkan harus didaftarkan kepada Balai Harta Peninggalan. Biasanya jika penerapannya kepada non muslim maka hukum yang digunakan adalah Hukum Perdata. Sedangkan, untuk yang masyarakat muslim yang digunakan adalah Hukum Islam, atau dapat pula Hukum Adat yang memiliki perbedaan berdasarkan daerah masing-masing.[1]
Apabila merujuk ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pembagian harta warisan sama dengan anak kandung sebagaimana dalam Pasal 852 KUH Perdata yang berbunyi:
“Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.”
Berdasarkan Pasal 852 KUH Perdata tersebut dapat diketahui bahwa anak angkat saudara kandung saudara dapat menerima harta warisan dari saudara kandung Saudara selaku orang tua angkatnya, tetapi yang penting tidak merugikan ahli waris lain yang ada. Selain itu, merujuk ketentuan ahli waris dalam hukum waris islam yang diatur dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa:
(1) “Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
- Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
- Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda”.
Dalam hal ini jelas bahwa anak angkat tersebut berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya.
Hukum Wasiat dan Keabsahan Wasiat Secara Lisan
Adapun berkaitan dengan wasiat, pada dasarnya telah diatur dalam Bab XIII Buku 2 KUH Perdata. Pasal 875 KUH Perdata menyatakan: “Surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya”. Adapun wasiat dibuat dalam Akta Notariil dan disimpan di Notaris untuk didaftarkan kepada Administrasi Hukum Umum. Wasiat tersebut akan dibuka manakala pemberi wasiat meninggal dunia.
Berkaitan dengan wasiat yang dibuat secara lisan, tentunya harus dapat dibuktikan baik dengan saksi atau bukti-bukti lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Pasal 1866 jo Pasal 1905 KUH Perdata menyatakan: “Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya”. Ketentuan tersebut juga dikenal dengan asas unus testis nullus testis. Oleh karena itu, guna membuktikannya, Saudara harus memiliki lebih dari 1 (satu) saksi. Sehingga sah dan dapat dilaksanakan pesan wasiat saudara kandung saudara melihat pernyataan saudara bahwa wasiat diucapkan di depan beberapa orang. Hal ini tentunya dengan syarat beberapa orang tersebut mampu dan cakap hukum untuk menyatakan diri sebagai saksi.
Bagian Waris Untuk Anak Angkat
Dalam menjawab pertanyaan Saudara, kami akan menggunakan perspektif dari hukum waris berdasar KUH Perdata dan hukum waris berdasar Hukum Islam.
- Hukum Waris KUH Perdata
Terdapat beberapa golongan Ahli Waris dalam KUH Perdata, yaitu diatur dalam Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata terdapat pembagian empat golongan ahli waris, yaitu:
- Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. (Pasal 852 jo Pasal 852a KUHPerdata)
- Golongan kedua, meliputi orang tua dan saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata).
- Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris (Pasal 853 KUHPerdata).
- Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. (Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata)
Golongan pertama menghilangkan hak golongan-golongan selanjutnya untuk menjadi ahli waris. Apabila pada akta kelahiran anak tersebut telah tertulis di dalamnya bahwa orang tua angkat adalah orang tua kandungnya, maka anak tersebut berhak sebagai ahli waris yang sah.
- Hukum Waris Islam
Bahwa berkaitan dengan hukum waris Islam, dasar hukum yang digunakan adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun dalam KHI juga terdapat penggolongan ahli waris yaitu:
- Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh, yaitu ahli waris langsung yang selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.
- Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut ashabah. Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul faraa’idh, yaitu bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada ashabah.
- Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja.”
Namun mengingat pernyataan saudara bahwa pihak pewaris sebelum meninggal dunia mewasiatkan untuk memberikan harta warisnya kepada anak angkat maka pembagian waris dapat berubah berdasarkan ketentuan wasiat tersebut. Pasal 954 KUHPer menjelaskan bahwa “wasiat pengangkatan ahli waris dimana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang ditinggalkan pada waktu dia meninggal dunia, baik seluruhnya maupun sebagian seperti seperdua atau sepertiga”. Berdasarkan ketentuan Pasal 954 tersebut ahli waris yang diangkat berhak mendapatkan harta waris yang dimaksud.
Namun Pasal 956 KUHPer mengatur apabila terjadi perselisihan tentang siapa yang menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisnya, maka hakim dapat memerintahkan agar harta benda tersebut disimpan di Pengadilan. Sehingga dalam hal ini pembagian harta waris diserahkan kepada Pengadilan.
Sedangkan dalam ketentuan Hukum Islam wasiat lisan yang sah dan dapat dilaksanakan apabila dilakukan di depan dua orang saksi. Dan harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari ⅓ dari harta warisan kecuali disetujui oleh semua ahli waris. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 195 KHI. Selanjutnya Pasal 201 KHI mengatur apabila pewaris memberikan wasiat untuk salah seorang ahli waris dalam hal ini anak angkat pewaris melebihi ⅓ harta waris dan terdapat ahli waris lain yang tidak setuju maka wasiat hanya dilaksanakan sampai ⅓ harta waris saja.
Perpindahan Hak Milik Aset Seseorang yang Sudah Meninggal Dunia
Point terakhir pada pertanyaan saudara terkait penjualan aset yang merupakan harta waris kemudian dibalik nama menjadi atas nama anak angkat, pada dasarnya harta waris yang sebelumnya tercatat atas nama pewaris membutuhkan persetujuan seluruh ahli waris dalam hal peralihan hak milik dan pembagiannya. Sebagaimana Pasal 833 KUHPer apabila salah satu pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat telah meninggal dunia maka demi hukum ahli waris dengan sendirinya memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si meninggal.
Namun terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah menentukan siapa saja ahli waris dalam urutan pewaris. Ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 KUHPer tersebut ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama sekalipun pihak yang namanya tercantum tidak membuat surat ahli waris.
Akan tetapi, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri tidak ada maka segala harta peninggalan si yang meninggal dikelola oleh Balai Harta Peninggalan berdasarkan Pasal 1126 dan 1127 KUHPer atau berdasarkan Pasal 191 KHI penguasaannya diberikan kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.
Namun, dimungkinkan juga jika seluruh ahli waris setuju terkait proses balik nama harta waris tersebut dijadikan milik salah satu ahli waris dalam hal ini anak angkat dalam rangka pembagian harta waris. Berdasarkan Pasal 136 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah permohonan pendaftarannya diajukan oleh ahli waris yang bersangkutan atau kuasanya dengan melampirkan:
- sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun bersangkutan;
- akta PPAT tentang pembagian hak bersama;
- bukti identitas para pemegang hak bersama;
- surat kuasa tertulis apabila permohonan pendaftaran tersebut dilakukan bukan oleh pemegang hak yang berkepentingan;
- bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang;
- bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994.
[1] Muhammad Alwi. Perbedaan Penerapan Hukum Islam dan Hukum Adat Tentang Pembagian Harta Waris yang Ada di Masyarakat Desa Ugi Baru. Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syraiah dan Sosial. Vol. 4 (1), 2019, 102
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan