Janji Menikahi, Bagaimana Hukum Memandangnya?

Pertanyaan
Jond dan Engel ini sudah berpacaran 1 tahun dan Jond ini punya janji akan menikahi dan memberikan segalanya untuk Engel dan Engel ini termakan sama janjinya Jond dan pada akhirnya Engel memberikan segala apa yg diminta oleh John termasuk berhubungan seksual tetapi ternyata John tidak menepati janji. Analisis kasus ini dan kaitannya itu didasarkan pada interpretasi dan analogi!Ulasan Lengkap
Terlebih dahulu, Kami akan mencoba menjelaskan mengenai interpretasi dan analogi dalam hukum pidana. Machteld Boot sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa “every legal norm needs interpretation” yang berarti setiap norma hukum membutuhkan interpretasi.[1] Lebih lanjut lagi, Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Anthon Freddy Susanto berpendapat bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, sebab hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi.[2] Masih mengenai interpretasi, secara garis besar terdapat 4 metode penafsiran yang sering digunakan, yaitu interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis atau logis, interpretasi historis, dan interpretasi teleologis atau sosiologis.
Kemudian mengenai analogi, Cherif Bassiouni berpendapat bahwa[3] ada 3 kategori dari analogi. Pertama, analogi untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga tetapi tidak dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Kedua, analogi yang diterapkan apabila bunyi undang-undang tidak cukup jelas atau gagal merumuskan unsur-unsur dari suatu perbuatan pidana. Ketiga, analogi yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak didefinisikan oleh pembentuk undang-undang. Lebih lanjut terkait dengan analogi juga dapat dilihat dalam Artikel dengan Judul “Analogi Hukum”. Kemudian kaitannya interpretasi dan analogi, Utrecht menyatakan bahwa interpretasi adalah menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan jelas, sementara analogi ialah menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak disinggung oleh kaidah itu tetapi mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.[4]
Merujuk kembali kepada uraian kasus sebagaimana ditanyakan, bahwa pada pokoknya dapat disimpulkan terdapat pemberian janji untuk menikahi yang dilakukan oleh Jond kepada Engel sehingga Engel memberikan segenap kehormatannya yakni dengan bersedia untuk berhubungan seksual dengan Jond. Terkait dengan perkara janji untuk menikahi dan kaitannya dengan interpretasi ataupun analogi, bahwa terdapat kasus yang mencuri perhatian publik pada tahun 1983. Pada perkara nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn tersebut, majelis hakim yang diketuai oleh Bismar Siregar menilai Terdakwa MRS terbukti melakukan penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena telah memberikan janji kepada K bakal menikahi setelah keduanya melakukan persenggamaan layaknya suami istri di luar perkawinan.
Dalam kasus di atas, diketahui bahwa bahwa K telah mengizinkan MRS untuk berhubungan seksual dengannya dengan harapan akan dinikahi setelah berhubungan seksual. Dalam hal ini, majelis berpendapat bahwa pengertian “barang” dalam unsur “memberikan atau menyerahkan barang tertentu” tidak hanya bersifat terbatas mengenai benda berwujud seiring perkembangan teknologi dan kebudayaan. Lebih lanjut lagi, dikemukakan bahwa persenggamaan itu memberikan keuntungan kepada Terdakwa karena M telah menerima suatu jasa dari K.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa majelis hakim telah memperluas arti kata “barang”, di mana termasuk juga jasa. Selain itu, majelis hakim juga merujuk pada bahasa Tapanuli, yakni bonda yang mengandung arti barang. Dalam bahasa Tapanuli, bonda sering digunakan untuk menyebut kemaluan sehingga apabila terdapat seseorang yang menyerahkan segenap kehormatannya akibat rayuan, maka hal itu berarti sama dengan menyerahkan barang.
Pada tingkat kasasi, putusan dengan nomor perkara 144/Pid/1983/PT-Mdn dibatalkan oleh majelis hakim tingkat kasasi. Majelis hakim tingkat kasasi berpendapat bahwa unsur tipu muslihat dan kebohongan tidak terbukti. Pertimbangannya adalah janji mengawini hanya berdasarkan keterangan saksi korban semata dan tidak didukung oleh alat bukti lain. Walaupun terdapat surat yang dibuat terdakwa kepada saksi korban, tidak ada isinya yang menjanjikan menikahi. Lagipula, majelis hakim menduga surat itu dibuat setelah senggama terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa tipu muslihat atau rangkaian kebohongan tidak tersebut sehingga unsur “barang” tidak relevan untuk dipertimbangkan.
Berbeda halnya dengan Putusan Bisma Siregar yang mengartikan kemaluan sebagai benda, majelis kasasi terhadap perkara menyatakan bahwa Putusan Nomor 33/MMT-III/X/AD/87 Mahkamah Tinggi Militer Surabaya telah salah menerapkan hukum karena memperluas pengertian barang sebagai kehormatan atau kemaluan perempuan. Dengan demikian, majelis kasasi menganggap bahwa tidak terdapat barang yang diserahkan korban kepada pelaku. Oleh karena itu, pada akhirnya terdakwa dibebaskan dari dakwaan karena telah melakukan penipuan.
Kedua perkara di atas pada intinya mirip dengan uraian kasus sebagaimana Saudara tanyakan. Di mana, seluruhnya sama-sama merupakan perkara janji untuk menikahi. Dalam hal ini, Kami berpendapat bahwa pengertian unsur “barang” dalam Pasal 378 KUHP tidak termasuk pada jasa maupun kemaluan atau alat kelamin. Hal itu sesuai dengan majelis kasasi yang membatalkan Putusan Nomor.33/MMT-III/X/AD/87 Mahkamah Tinggi Militer Surabaya. Pertimbangan lainnya adalah yang dimaksud dengan barang/benda itu memiliki nilai ekonomis, sedangkan alat kelamin atau kemaluan tidak bernilai ekonomis.[5] Dengan demikian, apabila terdapat majelis hakim yang menyamakan pengertian “barang” termasuk pada jasa maupun kemaluan atau alat kelamin, maka dapat dikatakan bahwa majelis hakim tersebut telah menerapkan analogi yang bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Mengenai asas legalitas dapat dilihat dalam Artikel dengan Judul “Apa Itu Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana”.
Kemudian berkaitan dengan kegiatan persenggamaan oleh pasangan di luar hubungan perkawinan, bahwa berdasarkan ketentuan terbaru dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021) perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang berada di lingkungan perguruan tinggi. Namun demikian, perlu diingat bahwa sasaran pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, meliputi: mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tridharma. Dengan demikian, apabila pelaku ataupun korban tidak termasuk ke dalam ruang lingkup sasaran sebagaimana dimaksud Pasal 4 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, maka orang tersebut tidak terikat pada Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.
Pasal 5 ayat (2) butir j Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 pada intinya mengatur bahwa kegiatan persenggamaan yang didahului dan disebabkan dengan adanya bujukan, rayuan, maupun janji-janji dapat digolongkan ke dalam kekerasan seksual. Selengkapnya, Pasal 5 ayat (2) butir j Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 berbunyi:
“kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban”.
In casu a quo, janji untuk menikahi dapat dikatakan memenuhi unsur membujuk maupun menjanjikan sesuatu kepada korban yang dilakukan dengan tujuan agar dapat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya tersebut. Padahal sebelum adanya janji untuk menikahi tersebut, korban menolak untuk melakukan hubungan seksual. Kemudian terkait dengan akibat hukumnya, Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 14 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengatur bahwa terhadap pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual dapat dikenakan sanksi administratif dari yang ringan berupa teguran tertulis hingga pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, dosen, ataupun tenaga pendidik.
[1] Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, hlm. 65.
[2] Anthon Freddy Susanto, 2005, Sistematika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, hlm. 9-11.
[3] M. Cherif Bassiouni, 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc., Ardsley, New York, hlm. 179-180.
[4] E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana I, Universitas, Bandung, hlm. 207.
[5] Lusiana M. Tijow, 2017, Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Janji Kawin, Intelegensi Media, Malang, hlm. 136.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan