Kedudukan Harta Hibah Pada Harta Pernikahan

Pertanyaan
Halo, saya ingin bertanya sehubungan dengan harta bawaan ketika bercerai.Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan mengatur bahwa harta bawaan yang diperoleh sebagai hadiah/warisan berada dibawah penguasaan masing2 pihak.Apakah harta tersebut juga termasuk dalam harta HIBAH? Jika ya, maka ketika istri (yang menerima harta HIBAH dari orang tuanya) akan bercerai, bagaimana status hukum dari harta HIBAH tersebut? Terima kasihUlasan Lengkap
Harta Hibah Pada Harta Pernikahan
Terima kasih atas pertanyaan Saudara,
Sebelum kami jelaskan terkait peraturan tentang harta bersama, lebih dulu kami akan menjelaskan golongan-golongan dari harta suami-istri itu sendiri. Dalam bukunya “Hukum Kekeluargaan Indonesia” Sayuti Thalib membagi golongan harta suami-istri dalam 3 (tiga) golongan:
- Harta bawaan, yaitu harta suami istri yang telah dimiliki sebelum mereka terikat dalam perkawinan. Harta tersebut bisa berasal dari warisan, hibah, atau usaha suami istri sendiri sebelum terjadinya perkawinan;
- Harta masing-masing suami istri setelah perkawinan, yaitu harta masing-masing suami atau istri yang dapat diperoleh dari warisan, wasiat, atau hibah untuk diri masing-masing suami istri dan bukan atas usaha mereka;
- Harta pencaharian, yaitu harta yang didapatkan setelah adanya ikatan perkawinan dan atas usaha dari suami istri atau salah satu dari mereka[1].
Pada dasarnya harta bersama suami istri adalah suatu akibat dari adanya ikatan perkawinan. Bercampurnya harta benda perkawinan ini menimbulkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing pihak yang mengikatkan diri, yang dalam hal ini adalah suami dan istri.
Harta Hibah
Lebih lanjut kami paparkan penjelasan tentang hibah. Berdasarkan Pasal 1666 KUH Perdata, hibah adalah “suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara Cuma-Cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu” dan penghibahan yang diakui hanya penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Hibah merupakan pemberian seseorang yang masih hidup secara cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan yang baik. Para ahli fiqh kemudian mengartikan hibah sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa adanya ganti rugi.[2] Sedangkan batasan seseorang dapat memberikan harta kekayaannya menjadi hibah adalah ⅓ dari harta yang dimiliki berdasarkan Pasal 210 KHI.[3] Sehingga apabila jumlah harta hibah yang diberikan lebih dari ⅓ harta pemberi hibah atau tidak sesuai dengan Pasal 210 KHI, maka hukum hibahnya adalah batal.[4] Mengenai pengertian hibah juga tercantum dalam Pasal 1666 KUHPerdata bahwa “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.
Harta Hibah yang Diperoleh Dalam Pernikahan
Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUH Perdata, menerangkan bahwa putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami dan istri tanpa memperhatikan asal barang-barang kekayaan sebelumnya diperoleh. Lebih lanjut Pasal 119 KUH Perdata menyebutkan “mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri”.
Sehingga jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan, antara suami dan istri terjadi percampuran harta yang mengakibatkan harta suami menjadi harta istri dan begitu sebaliknya. Apabila terjadi perceraian harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Kecuali apabila suami dan istri membuat perjanjian terpisah sebagaimana Pasal 139 KUHperdata. Dimana perjanjian tersebut mengatur pembagian harta bersama dan/atau pemisahan harta maka tidak dikenal istilah harta bersama.
Walaupun telah diatur bahwa dalam perkawinan terdapat percampuran harta, namun percampuran harta tersebut memiliki pembatasan. KUH Perdata merupakan Code Civil yang diambil dari hukum Romawi. Hukum Romawi sendiri tidak mengenal kebersamaan harta. Sehingga jika terjadi perceraian suami dan istri hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama masing-masing.[6] Meski demikian, Code Civil yang menjadi cikal bakal KUH Perdata yang berlaku saat ini menganut kebersamaan harta dalam arti terbatas, sebagaimana diatur dalam Pasal 120 KUH Perdata.[5]
Peraturan terkait perkawinan yang diperlakukan di Indonesia selain mengacu pada UU Perkawinan juga mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut dengan KHI). Dalam KHI harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam BAB XIII yang selanjutnya pada Pasal 85 menjelaskan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”.
Harta Hibah Setelah Perceraian
Terkait pertanyaan Saudara apabila terjadi perceraian, maka pembagian harta kekayaan dalam perkawinan harus dipisahkan dari harta bawaan yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan berlangsung dan harta yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah atau warisan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
- Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan;
- Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya.
Oleh karena itu, baik berdasarkan KUH Perdata maupun KHI, harta hibah yang diberikan orang tua istri kepada sang istri tersebut tidak termasuk dalam harta bersama atau termasuk harta bawaan, sehingga penguasaannya pun berada dibawah penguasaan istri secara utuh. Dengan demikian, ketika ada perceraian antara suami dan istri, maka harta hibah yang diperoleh dalam pernikahan yang diperoleh oleh masing-masing (suami/istri) tidak dibagi selayaknya harta bersama lainnya.
[1] Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2014, 83
[2] H. Zainudiin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinart Grafika, 2008, 77
[3] Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam
[4] Misnar, Siti dan Abdul Jalil. Kedudukan Harta Bersama yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak. Jurnal Holrev Vol. (2), September 2018, 563
[5] R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, Hukum orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; Surabaya, 2008, halaman 53
[6] Djuniarti, Evi. Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 17 (4), Desember 2017, 448
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan