Hak Waris Terhadap Harta Peninggalan Golongan Pertama

janda sebagai ahli waris 6 Istilah Dokumen Oleh Notaris Photo by Pexels Karolina

Pertanyaan

Selam sejahterah. Mau tanya. Bagaimana menyikapi persoalan tentang haq waris rumah peninggaln kakek/ nenek. Dulu sbelm meninggal kakek nenek berpesan siapa yg merawat nya sampai meninggal rumah ini jadi milik anak yg merawat y, dan sekarang anak2 dr si kakek meminta uang 30 juta untuk tanah yg kami tinggali dr peninggaln kakek nenek ini

Ulasan Lengkap

Terima kasih atas pertanyaan Saudara,

Berkaitan dengan hak waris pada dasarnya terdapat beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Waris KUH Perdata, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat. Dalam pertanyaan Saudara tidak dijelaskan hukum waris apakah yang digunakan oleh keluarga, sehingga dalam menjawab pertanyaan Saudara tersebut kami akan menggunakan ketentuan dalam Hukum Waris KUH Perdata dan Hukum Waris Islam.

Bahwa berdasarkan Pasal 820 KUH Perdata dan Pasal 171 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), waris baru terbuka setelah Pewaris meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam kasus Saudara tersebut, waris baru terjadi manakala kakek dan nenek sebagai pemilik harta waris telah meninggal dunia. Pembagian waris dan ahli waris yang memperoleh harta waris ditentukan sesuai dengan keadaan saat kakek nenek meninggal dunia, apabila kakek nenek meninggal dunia pada saaat anak-anaknya masih hidup semua, maka anak-anak kakek dan nenek tersebut berhak menjadi ahli waris kecuali terdapat hal-hal yang membuat ahli waris tersebut terhalang sebagai ahli waris.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan hukum waris KUH Perdata, yang berhak untuk memperoleh hak waris dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

  1. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. (Pasal 852 jo Pasal 852a KUHPerdata)
  2. Golongan kedua, meliputi orang tua dan saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata).
  3. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris (Pasal 853 KUHPerdata).
  4. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. (Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata)

Keberadaan golongan pertama akan menghapuskan hak golongan kedua dan seterusnya. Oleh karena itu, jika melihat pada hukum waris, maka anak-anak kakek dan nenek yang masih hidup berhak menjadi ahli waris dan cucu-cucu kakek dan nenek yang berasal dari anak yang telah meninggal dunia berhak menjadi ahli waris pengganti. Di sisi lain, jika dalam KHI, golongan ahli waris terdiri atas:

  1. Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh, yaitu ahli waris langsung yang selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.
  2. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut ashabah. Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul faraa’idh, yaitu bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada ashabah.
  3. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja.”

Dengan demikian, pada saat kakek nenek meninggal tersebut, juga perlu diperhatikan apakah kakek dan nenek masih memiliki orang tua yang berhak menjadi ahli waris juga.

Meski demikian, manakala ternyata Kakek dan Nenek telah meninggal wasiat, maka wasiat tersebut juga harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlu diingat bahwa dalam memberikan wasiat terdapat ketentuan legitime portie, sehingga maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah 1/3 bagian dari total harta waris setelah dikurangi keperluan dan hutang Pewaris.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada dasarnya harus ditelusuri terlebih dahulu apakah terdapat wasiat dari Kakek Nenek, dan bagaimana pembuktiannya. Selanjutnya ditelusuri pula apakah wasiat tersebut melanggar legitime portie, yang apabila benar melanggar maka wasiat tersebut batal dan anak-anak dari kakek nenek seluruhnya dapat meminta bagian waris sebagaimana hukum waris yang digunakan.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan