Dituntut Pidana Sebanyak 2 kali, Apakah Boleh?

Pertanyaan
Jika orangtua kami telah melakukan kejahatan pasal 263 dan telah putusan pengadilan dan selesai menjalani hukuman.Apakah dia bisa dituntut lagi dengan pasal yang sama namun TKP nya di persidangan tentunya waktunya pun berbeda karena waktu itu pernah menghadirkan barang bukti yang sama yang terkena pasal 263, namun pada saat itu belum ada putusan mengenai barang bukti tersebut palsu atau asli.Ulasan Lengkap
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 263 KUHP adalah tindak pidana pemalsuan surat. Sebelumnya, kami akan mengutip Pasal 263 KUH Pidana yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Unsur-unsur dari pasal tersebut adalah:
Barangsiapa
Unsur ini merujuk pada subjek pelaku tindak pidana dalam KUHP yaitu orang-perseorangan.
Membuat surat palsu atau memalsukan surat
Membuat surat palsu di sini maksudnya adalah membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar.[1]
Sedangkan, yang dimaksud dengan memalsu surat adalah mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari pada yang asli.[2]
Yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian atau surat pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan
Unsur ini terdiri dari 4 sub unsur yang disusun secara alternatif, di mana terdiri dari:[3]
- Dapat menerbitkan suatu hak. Misalnya seperti ijazah dan karcis.
- Suatu perjanjian. Misalnya seperti surat perjanjian piutang.
- Surat pembebasan utang. Misalnya seperti kwitansi.
- Surat yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan. Misalnya seperti surat tanda kelahiran.
Dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang menggunakan surat-surat tersebut seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan
Unsur ini mensyaratkan bahwa pada saat melakukan tindak pidana memalsukan surat itu harus ada maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan surat tersebut seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. Dengan demikian, jika perbuatan memalsukan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan dalam rangka percobaan di laboratoriun atau pembelajaran maka tidak dapat dihukum menurut ketentuan a quo.[4]
Maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat
Unsur ini dihubungkan dengan frasa ”dapat” yang berarti kerugiannya tidak perlu kerugian yang betul-betul sudah ada. Cukup dengan baru kemungkinan terjadi kerugian maka unsur ini dapat terpenuhi. Adapun kerugian di sini juga tidak saja merupakan kerugian secara materiil, tetapi juga di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, maupun kehormatan.[5]
Dari pertanyaan Anda, kami menyimpulkan bahwa telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang menyatakan orang tua Anda bersalah serta menghukum orang tua Anda atas tindak pidana pemalsuan surat A (kami perumpamakan demikian untuk mempermudah penjelasan).
Bahwa dalam hukum pidana suatu tindak pidana harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “KUHAP”). Pembuktian tersebut harus dilakukan oleh penuntut umum selaku penegak hukum yang bertugas untuk melakukan penuntutan terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Meski terdakwa telah mengakui tindak pidana yang dituduhkan padanya, namun Penuntut Umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan kesalahan atau tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP. Berdasar uraian tersebut, maka yang wajib untk membuktikan adalah Penuntut Umum.
Salah satu bukti yang sah yang diakui oleh KUHAP adalah bukti surat. Adapun dalam penyidikan, penyidik yang dalam hal ini dapat dijabat oleh Kepolisian atau Kejaksaan, dapat melakukan sita atas surat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, apabila orang tua Anda didakwa melakukan tindak pidana pemalsuan Surat A, maka seharusnya Surat A tersebut disita oleh Penyidik untuk kemudian digunakan sebagai bukti Penuntut Umum dalam persidangan.
Pertanyaan Anda yang menyatakan bahwa “Apakah dia bisa dituntut lagi dengan pasal yang sama namun TKP nya di persidangan tentunya waktunya pun berbeda karena waktu itu pernah menghadirkan barang bukti yang sama yang terkena pasal 263, namun pada saat itu belum ada putusan mengenai barang bukti tersebut palsu atau asli”, kami asumsikan bahwa orang tua Anda didakwa sebanyak 2 kali karena memalsukan Surat A. Hal tersebut adalah melanggar hukum, dan bahkan melanggar Hak Asasi Manusia. Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut “UU HAM) mengatur:
“Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.”
Dengan demikian, orangtua Anda tidak dapat dituntut pidana untuk kedua kalinya atas tindak pidana membuat Surat A Palsu atau memalsukan Surat A.
Apabila dalam persidangan terdahulu yang telah mendapatkan putusan inkracht tersebut orangtua Anda menggunakan Surat A sebagai bukti di pengadilan untuk dibandingkan dengan surat yang asli atau palsu, maka tentu hal tersebut adalah hak orangtua Anda. Perlu digaris bawahi bahwa orang tua Anda saat itu sedang didakwa karena memalsukan Surat A, yang oleh karena itu sedang dibuktikan keaslian Surat A tersebut. Dalam persidangan tersebut tentu sedang dibuktikan bahwa apakah unsur-unsur dalam Pasal 263 KUHP telah terpenuhi atau tidak, termasuk namun tidak terbatas unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat. Oleh karena itu, tindak pidana membuat Surat A Palsu atau memalsukan Surat A hanya dapat dikenakan satu kali pidana.
Namun demikian, jika ada kerugian dari pihak lain karena palsunya Surat A tersebut, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan perdata. Gugatan perdata memiliki ranah yang berbeda dengan tuntutan pidana. Apabila tuntutan pidana memberikan hukuman pidana berupa penjara dan/atau denda, gugatan perdata tidak dapat memberikan hukuman pidana berupa penjara, melainkan dapat memberikan hukuman berupa ganti rugi dan/atau denda. Dalam hukum acara perdata tersebut, pihak yang berhadapan adalah orang perorangan, tidak ada unsur pemerintah seperti Jaksa Penuntut Umum di dalamnya.
[1] R. Soesilo, 1995, KUHP serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm. 195.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 196.
[5] Ibid., hlm. 196.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan