Hak Waris Anak Angkat Apabila Dalam Akta Kelahiran Sebagai Anak Kandung

Pertanyaan
Suami sy pernah nikah, tdk punya anak, akhirnya angkat anak tp si istri curang, ditulis anak kandung di akta. Skrg menikah lg dgn sy, punya anak kandung 1 org. Apabila suami sy wafat apakah ank angkat tsb punya hak yg sama dgn anak kandung sy?Ulasan Lengkap
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan, KHI mendefinisikan Anak angkat sebagai anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h).
Tata cara pengangkatan anak diatur dalam PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP 54/2007). Pengangkatan anak angkat harus melalui penetapan pengadilan (Pasal 10 ayat (2) dan dari cerita saudara bahwa status anak angkat tersebut ditulis anak kandung dalam akta maka dapat kami simpulkan bahwa pengangkatan anak angkat tersebut tidak sesuai dengan tata cara pengangkatan anak dalam PP 54/2007 tersebut.
Anak angkat yang berstatus anak kandung dalam akta kelahiran tentu bertentangan dengan UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU 24/2013), hal tersebut dapat dikenai ketentuan Pasal 94 yang menyebutkan bahwa bagi siapa saja yang melakukan manipulasi elemen data penduduk diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,-.
Ahli Waris menurut KUHPerdata ada pada pasal 832 yang menyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah, baik sah, maupun di luar kawin dan si suami dan istri yang hidup terlama. Kelompok orang yang memiliki pertalian darah, dibagi ke dalam empat golongan yaitu:
- Golongan IÂ Â : Suami/Istri yang hidup terlama dan anak keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata)
- Golongan IIÂ : Orang tua dan saudara kandung pewaris.
- Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris.
- Golongan IV : Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Anak kandung dari pernikahan saudara dan suami saudara sendiri masuk dalam Ahli waris golongan I sedangkan berkenaan dengan anak angkat, KUH Perdata sendiri tidak mengatur secara khusus hak waris anak angkat, tetapi ia berhak mendapatkan bagian melalui wasiat. Namun, perlu diperhatikan Pasal 874 KUHPerdata menyatakan segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu belum memiliki ketetapan ketetapan yang sah (wasiat). Sehingga menurut KUHPerdata, apabila anak angkat tidak mendapat wasiat dari orang tua angkatnya harta peninggalan orang tua angkatnya adalah kepunyaan dari ahli waris orang tua angkatnya.
Ahli waris dalam hukum Islam merujuk pada Pasal 174 KHI. Sedangkan, anak angkat dikategorikan pihak di luar ahli waris yang dapat menerima harta peninggalan pewaris berdasarkan wasiat wajibah (Pasal 209 KHI). Pasal 209 ayat (2) KHI mengatur terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan, anak angkat tetap berhak mendapat wasiat wajibah dari orang tua angkatnya meskipun anak angkat tidak diberikan wasiat oleh orang tua angkatnya (pewaris).
Namun demikian, apabila dalam akta kelahiran anak angkat tertulis status anak kandung maka tentu anak angkat tersebut memiliki hak sebagai ahli waris, sehingga untuk mengeluarkan anak tersebut dari ahli waris maka harus ada pembatalan terlebih dahulu atas akta kelahiran tersebut atau penolakan waris dari anak tersebut. Hal tersebut dikarenakan dalam Hukum Perdata akta otentik yang dalam hal ini adalah Akta Kelahiran, adalah suatu alat bukti yang kuat yang harus diakui kebenarannya, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pembatalan akta kelahiran dapat dilakukan dengan cara melalui penetapan pengadilan (Pengadilan Agama (PA) atau Pengadilan Negeri (PN) maupun Contrarius Actus (Pasal 89 Permendagri No. 108 tahun 2019). Oleh karena itu, selama tidak ada pembatalan, maka anak yang bersangkutan tetap diakui sebagai anak kandung dari suami yang telah meninggal dan memiliki hak untu mewarisi harta waris dari suami yang telah meninggal tersebut dengan proporsi yang telah ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan