Pembuktian Dalam Sengketa Tanah
Pertanyaan
Pertanyaan:Apakah peralihan hak atas tanaah dia aanggap sah apabila yg bersangkutan tidak membuat akta di PPAT Melainkan membuat akta dibawa tangan dengan keseoakatan para pihak yg bersangkutan…Ulasan Lengkap
Perlu diperhatikan terlebih dahulu status hak atas tanah saudara, karena terdapat penyelesaian yang berbeda antara peralihan petok dan hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria telah mengatur apa saja jenis sertifikat tanah yang sah di mata hukum. Beberapa sertifikat resmi tersebut di antaranya berupa sertifikat hak milik (SHM), Sertifikat hak guna bangunan (SHGB), dan sertifikat hak satuan rumah susun (SHSRS).
Dasar hukum yang mengatur mengenai peralihan hak atas tanah dapat kita temui dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah). Pasal 37 ayat (1) PP Pendaftaran Tanah menyatakan sebagai berikut :
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Berdasarkan atas ketentuan tersebut maka jenis-jenis peralihan hak dapat terjadi karena adanya jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, pemindahan hak melalui lelang, serta pemindahan hak lainnya. Pemindahan hak lainnya tersebut dapat berupa pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan, hak pakai, lelang, pemberian hak tanggungan dan warisan. Jika terjadi peralihan hak atas tanah, maka harus dibuat sebuat akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) PP Pendaftaran tanah. Namun, dalam ketentuan pasal 37 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah juga dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Kategori kadar kebenaran yang dianggap cukup sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal Penjelasan sehingga yang menentukan kadar kebenarannya adalah Kepala Kantor Pertanahan.
Sementara dalam praktik jual beli tanah sering kali pihak penjual menggunakan prosedur jual beli dengan melakukan pemindahan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Secara hukum, hak atas tanah tersebut telah beralih kepada pembeli meskipun tanah tersebut belum disertifikatkan. Menyikapi hal tersebut, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016) angka 7 (SEMA 4/2016), berbunyi sebagai berikut:
“Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.”
Berdasarkan hal tersebut, walaupun hanya PPJB, selama pembeli telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi.
Mengenai keotentikan surat tanah petok d, letter c, dan girik masih merupakan identitas kepemilikan tanah. Namun, surat tanah tradisional berbentuk petok hanya dianggap sebagai alat bukti pembayaran pajak oleh sang pengguna tanah. Jadi, surat ini sangat lemah jika difungsikan sebagai surat kepemilikan tanah, maka perubahan petok menjadi SHM harus segera dimiliki agar meminimalisir permasalahan saat hendak mengalihkan tanah tersebut. Sebab seperti yang sebelumnya telah dibahas, setelah diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 Desember 1960, aturan petok D tidak berlaku dan hanya dianggap sebagai alat bukti pembayaran pajak tanah.
Terlebih UUPA pada pasal 19 ayat (2) huruf c, menjelaskan dalam kaitannya adanya pembuktian kepunyaan hak terhadap lahan melainkan melalui pensertifikatan hak atas tanah, akan tetapi guna memperoleh sertifikat wajib menggunakan cara khusus, dengan menguruskan tanahnya pada kantor Badan Pertanahan Nasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomer 10/1961. Sebelum terbit UU Pokok Agraria pada tahun 1960, status tanah ini bisa dianggap setara dengan sertifikat kepemilikan tanah. Tetapi setelah terbitnya UUPA, Petok D bukan lagi menjadi bukti kepemilikan yang sah.
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata, suatu akta dibagi 2 (dua) antara lain akta di bawah tangan (onderhands) dan akta resmi (otentik). Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPer). Sementara, akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tanpa bantuan pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak saja.
Alat bukti tulisan atau bukti surat merupakan bukti yang sangat penting dalam pembuktian perkara perdata di pengadilan. Alat bukti adalah alat yang digunakan untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum yang dinyatakan, baik oleh penggugat maupun oleh tergugat serta meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dalam acara perdata hakim terkait pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya dapat mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti ditentukan oleh undang-undang[1]. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan undang-undang (Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 BW), yaitu :
- Alat bukti tulisan
- Alat bukti saksi
- Alat bukti persangkaan
- Dan sumpah
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dalam perkara perdata, sepanjang akta di bawah tangan tidak disangkal atau dipungkiri oleh para pihak maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta otentik, sedangkan apabila kebenaran tanda tangan dalam akta di bawah tangan di sangkal akan kebenarannya maka akta tersebut harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan alat bukti yang lain seperti sakasi, persangkaan dan pengakuan.[2] Berikut merupakan kekuatan pembuktian akta dibedakan ke dalam tiga macam yaitu[3] :
- Kekuatan pembuktian lahir (pihak ketiga).
Dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian surat didasarkan atas keadaan lahir, bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, diterima/dianggap seperti akta dan diperlakukan sebagai akta, sepanjang tidak terbukti kebalikannya. Jadi surat itu diperlakukan seperti akta, kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh pihak lain, misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan yang di dalam akta dipalsukan. Dengan demikian, berarti pembuktiannya bersumber pada kenyataan.
- Kekuatan pembuktian formal
Dimaskud dengang pembuktian formal dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatanganinya dalam akta, bahwa oleh penandatangan akta diterangkan apa yang tercantum di dalam akta. Misalnya, antara A dan B yang melakukan jual beli, mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu benar, jadi pengakuan mengenai penyataan terjadinya peristiwa itu sendiri, bukan mengenai isi dari pernyataan itu. Atau dalam hal ini menyangkut pernyataan, “benarkah bahwa ada pernyataan pihak yang menanganinya”.
- Kekuatan pembuktian materiill
Dimaksud dengan pembuktian materiil akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi, jadi memberi kepastian tentang materi akta. Misalnya A dan B mengakui benar bahwa jual beli (peristiwa hukum) telah terjadi.
[1] Richard Cisanto Palit, Kekuatan Akta Di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan, Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015, Hlm 139
[2] Ibid, hlm 144
[3] Moh. Taufik Makarao., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 2009, Hlm 48
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan