Sanksi Pidana Bagi Pelaku Sodomi

image by Alexander Raths on stock.adobe.com

Pertanyaan

Saya mau tanya kalo ada kasus sodomi tetapi pelaku yang melakukan berumur 16 tahun. Anak ini bisa dipenjarakan atau tidak? Selain penjara hukuman apa yang pantas untuk anak ini. Btw pelaku mengalami disabilitas

Ulasan Lengkap

Ada 3 pokok bahasan yang harus diuraikan dalam pertanyaan tersebut?

Apa itu sodomi menurut hukum dan sanksi pidananya?

Tidak ada definisi sodomi yang diterangkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Istilah sodomi adalah terminologi umum yang menurut KBBI adalah senggama antarmanusia secara oral atau anal, biasanya antarpria, atau dapat pula dimaksud persetubuhan sesama lelaki. Selain itu, sodomi dimaknai pula pencabulan dengan binatang.

Namun, kendati tidak ditemukan definisi sodomi dalam peraturan perundang-undangan, sodomi kerap dikaitkan dengan tindak pidana pencabulan. Berdasarkan Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”

Adapun yang dimaksud perbuatan cabul, adalah semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau perbuatan yang keji, yang semua itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Jika sodomi dilakukan terhadap anak, maka hal tersebut diatur khusus dalam Pasal 76C dan 76D Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak j.o Undang-Undang Nomor Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (UU a quo).

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76E

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Adapun sanksi pidana yang diberikan diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU a quo sebagai berikut.

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Tentunya ketentuan tersebut berlaku apabila korban memanuhi definisi anak menurut hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU a quo,Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Bagaimana keberlakuan sanksi pidana bagi pelaku anak?

Mengenai anak yang berhadapan dengan hukum, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Penyelesaian perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku berdasarkan UU SPPA diupayakan ditempuh dengan jalur diversi. Namun upaya diversi ini hanya memungkinkan untuk tindak pidana yang diancam hukuman di bawah 7 tahun. Sebelumnya telah diuraikan bahwa sodomi adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun. Oleh sebab itu upaya diversi tidak dapat ditempuh dalam perkara sodomi. Pada penjelasan UU SPPA, dijelaskan beberapa pengklasifikasian sanksi hukum yang dapat diberikan kepada anak berdasarkan tingkatan umur. Untuk umur 12 tahun ke bawah di beri sanksi tindakan, sedangkan anak yang usia rentang 12-18 tahun dapat dikenakan sanksi pidana dan tindakan.

Jadi meskipun pelakunya masih berstatus anak, dalam perkara sodomi tetap dapat diberikan sanksi menurut hukum pidana. Kemudian terkhusus kasus ini, karena terduga pelakunya berusia 16 tahun, maka dapat dikenakan sanksi pidana maupun tindakan, termasuk di dalamnya berupa penjara sesuai pasal yang dilanggarnya. Namun,  pidana penjara yang dapat dikenakan kepada anak adalah maksimal ½ dari hukuman penjara orang dewasa. Hal ini diatur dalam Pasal 81 ayat (2) UU SPPA bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.” Artinya, tindak pidana sodomi yang diancam maksimal 15 tahun penjara, maka hukuman bagi anak hanya dapat dikenakan maksimal 7 tahun 6 bulan penjara. Selain itu, sanksi pidana kepada pelaku anak yang melakukan sodomi tersebut tidak dapat disertai dengan pemberian sanksi tambahan dan tidak dapat pula diberi sanksi tindakan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 81 ayat (9) UU a quo Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.”

Bagaimanakah keberlakuan sanksi pidana terhadap penyandang disabilitas?

Sebelumnya telah disimpulkan bahwa anak berpotensi dikenakan sanksi pidana berupa penjara. Namun, terdapat pertanyaan lanjutan, terkait bagaimana apabila anak tersebut adalah penyandang disabilitas? Sebelum membahas bagaimana hukum pidana memandang penyandang disabilitas sebagai pelaku tindak pidana, maka terlebih dahulu perlu dikaji bahwa terdapat berbagai klasifikasi penyandang disabilitas menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yakni disabilitas fisik, intelektual, mental dan sensorik. Pada hukum pidana, dikenal istilah gugurnya pertanggung jawaban pidana. Hal tersebut dalam hukum pidana menyebabkan seseorang tidak dapat dijatuhi sanksi sesuai hukum pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Ini adalah salah satu prinsip dalam hukum pidana yang berakar adanya doktrin means rea. Doktrin ini menganggap bahwa tindak pidana terbangun atas dua hal, yakni perbuatan jahat (actus reus) dan niat jahat (means rea).  Gugurnya pertanggungjawaban pidana ini dimaknai bahwa orang yang melakukan tindak pidana tersebut kendati tindakanya merupakan tindak pidana, namun  tindakan tersebut tidak disertai dengan niat jahat.

Dari pernyataan ini, maka untuk menyimpulkan mengenai gugur tidaknya pertanggung jawaban pidana bagi penyandang disabilitas, maka pertanyaan yang harus terjawab, apakah penyandang disabilitas termasuk faktor penyebab gugurnya pertanggungjawaban pidana? Berdasarkan KUHP terdapat berbagai faktor yang menyebabkan gugurnya pertanggung jawaban pidana. Salah satunya adalah ketidakmampuan untuk bertanggungjawab. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, bahwa “Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggung kan kepadanya karena kurang sempurna akalnya, atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. Berdasarkan pasal tersebut, dengan dikaitkan dengan klasifikasi penyandang disabilitas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila penyandang disabilitas yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan akalnya, seperti disabilitas mental. Maka anak tersebut tergolong kepada orang yang tidak mampu bertanggung jawab, sehingga tidak dapat dijatuhi hukuman pidana. Namun, hakim dapat memberikan putusan agar pelaku ditempatkan di rumah sakiy jiwa. Hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP, bahwa “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.

Jadi kesimpulannya bahwa dalam kasus tersebut, kendati pelakunya adalah anak, maka terduga pelaku tersebut tetap dapat dijatuhi pidana berapa penjara, sepanjang dapat dibuktikan bahwa penyakit disabilitas yang dideritanya tidak berkaitan dengan akalnya. Namun, kendati demikian, penjara merupakan upaya terakhir bagi anak, dan tentunya keadaan pribadi anak turut menjadi perimbangan yang penting dalam menjatuhkan sanksi bagi anak. Hal ini sesuai amanat Pasal 70 UU SPPA, bahwa:

“Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan