Pertanggungjawaban Penyidik Apabila Menyita Uang Pihak Ketiga dan Merugikan Pihak Ketiga

Photo by Avery Evans on Unsplash

Pertanyaan

Dalam kasus Jiwasraya, Jaksa diduga menyita uang yang bukan merupakan uang hasil kejahatan melainkan uang milik nasabah Jiwasraya. Bagaimana pertanggungjawaban hukum dari Jaksa apabila terbukti menyita uang yang bukan hasil kejahatan dan merugikan nasabah Jiwasraya?

Ulasan Lengkap

Kasus dugaan korupsi PT. Asuransi Jiwasraya (persero) saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh Jaksa. Jaksa telah menyita sejumlah aset milik 5 (lima) tersangka yang totalnya bernilai Rp. 13,1 Triliun, dimana jumlah itu belum mencukupi kerugian negara yang diungkap oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebesar Rp.16,81 Triliun. Oleh karena itu, pemeriksaan masih gencar dilakukan guna mengembalikan kerugian negara. Selain menyita aset tersangka, diduga Jaksa juga menyita aset dari sejumlah rekening efek terkait dengan penyidikan dugaan korupsi PT. Asuransi Jiwasraya (persero). Rekening efek ini adalah rekening khusus nasabah pasar modal yang dibuat untuk melakukan Investasi saham dan reksa dana. Pada umumnya dalam rekening efek juga terdapat uang tunai nasabah. Jaksa melakukan pemblokiran terhadap beberapa rekening tersebut dan meminta pihak yang memiliki rekening tersebut segera konfirmasi untuk meminta pembukaan pemblokiran ke Kejaksaan Agung, sehingga dari hal tersebut Jaksa dapat memeriksa aliran dana dugaan korupsi pada PT. Asuransi Jiwasraya (persero). Hal tersebut menghambat nasabah dan dapat merugikan nasabah yang sedang membutuhkan proses transaksi dilakukan secepatnya.

Dasar hukum yang mengatur mengenai rekening efek ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UU Pasar Modal). Pasal 59 ayat (3) UU Pasar Modal menyebutkan bahwa yang berhak melakukan pemblokiran terhadap rekening efek adalah Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (selanjutnya disebut LPP) atas perintah tertulis dari Bapepam atau berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, atau Ketua Pengadilan Tinggi untuk kepentingan peradilan dalam perkara perdata atau pidana. LPP menurut Pasal 1 angka (10) UU Pasar modal yaitu pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. Pada prakteknya LPP saat ini diselenggarakan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 59 UU Pasar Modal maka pada dasarnya Jaksa dapat melakukan pemeriksaan terhadap rekening efek nasabah sebagaimana prosedur yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur Jaksa dalam melakukan pemblokiran terhadap rekening efek nasabah PT. Asuransi Jiwasraya (persero) dilakukan dengan permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan kepada LPP untuk memenuhi prosedur pemblokiran rekening efek.

Kemudian sebagaimana pertanyaan yang diajukan, bagaimana pertanggungjawaban Jaksa apabila terbukti menyita uang yang bukan merupakan hasil kejahatan? Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) disebutkan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Suatu barang yang dapat disita oleh Jaksa diuraikan dalam ketentuan Pasal 39 KUHAP. Jaksa sebagai penyidik dalam kasus dugaan Korupsi PT. Asuransi Jiwasraya (persero) melakukan penyitaan terhadap rekening efek untuk memeriksa dugaan aliran dana dalam rekening tersebut. Namun Penyidik wajib mengembalikan barang sitaan kepada pemiliknya apabila proses pemeriksaan telah selesai atau sudah tidak diperlukan dalam pemeriksaan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 46 KUHAP yang menyatakan:

 

  1. Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila:
    1. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
    2. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
    3. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
  2. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.”

 

Terhadap barang sitaan yang berpotensi menyebabkan ketidakadilan dapat diajukan praperadilan. KUHAP tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa terhadap penyitaan dapat diajukan praperadilan, namun dalam prakteknya penyitaan yang berpotensi merugikan seseorang atau menyebabkan ketidakadilan dapat diajukan praperadilan. Hal ini secara implisit dijelaskan dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP. Secara historis, adanya praperadilan adalah untuk melakukan pengawasan terhadap upaya paksa yang dilakukan kepada tersangka selama ia dalam proses penyidikan dan penuntutan. Walaupun Pasal 77 KUHAP tidak menyebutkan penyitaan sebagai yurisdiksi praperadilan, namun pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penyitaan dapat diajukan karena penyitaan juga bagian dari upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik. Penyitaan terhadap suatu barang tentu menimbulkan kerugian terhadap pemiliknya, sehingga hal ini dapat dilakukan upaya hukum praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya suatu penyitaan. Berdasarkan hal tersebut, maka secara implisit pihak yang dirugikan atas penyitaan tersebut dapat meminta ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 77, Pasal 82 ayat (4), Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP. Pada intinya pasal 77, Pasal 82 ayat (4), Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP menyatakan bahwa seseorang berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi atas dikenakannya tindakan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan yang menyebabkan kerugian secara materiil maupun immateriil terhadap dirinya.

Terhadap hal ini, Jaksa sebagai penyidik juga tidak dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang, karena berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 KUHAP dikatakan bahwa penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap barang yang diduga berkaitan dengan tindak pidana yang disidiknya. Selain itu, pemblokiran terhadap rekening efek nasabah sah-sah saja untuk dilakukan, asalkan sesuai dengan prosedur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 59 ayat (3) UU Pasar Modal. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 46 KUHAP, apabila rekening efek yang disita oleh Jaksa tidak terbukti berkaitan dengan dugaan kasus korupsi PT. Asuransi Jiwasraya (persero), maka Jaksa wajib mengembalikannya. Pengembalian suatu barang kepada pemiliknya atau orang yang berhak atas barang tersebut merupakan bentuk tanggung jawab Jaksa. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa terhadap tindakan penyitaan seyogyanya tidak boleh dilakukan secara sembarangan, utamanya terhadap hal yang menyangkut dana masyarakat karena dapat berdampak secara sistemik terhadap perekonomian negara.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan