Pengaturan dan Keabsahan Penggunaan Polygraph Dalam Pemeriksaan Tersangka/Saksi

Tindak Pidana Persekusi dan Pemerkosaan Photo by pexels-martin-lopez

Pertanyaan

Dalam sidang pemeriksaan ferdy sambo, saksi ahli poligraf didatangkan. terdakwa yang juga mengikuti pemeriksaan dan mengikuti tes poligraf dinyatakan berbohong menyakal bahwa itu hanyalah sebuah alat elektronik buatan. bagaimana keabsahan poligraf dalam pemeriksaan hukum pidana?

Ulasan Lengkap

Sidang kasus pembunuhan Brigadir Yosua merupakan salah satu sidang yang penuh dengan berbagai kontroversi. Namun, di lain sisi sidang ini juga banyak memberikan pengetahuan hukum baru mengenai kondisi penegakan hukum di Indonesia. Hal yang menarik selama persidangan pembunuhan Brigadir Yosua salah satunya adalah kehadiran saksi ahli polygraph.

Sebagaimana diketahui polygraph adalah adalah sebuah mesin yang merekam perubahan fisiologis seseorang, berupa detak jantung, tekanan darah, pernapasan, dan kulit, yang apabila terindikasi berbohong, maka detak jantungnya akan meningkat, tekanan darahnya akan naik, ritme pernapasannya akan berubah, dan bulir keringatnya akan meningkat. Artinya perubahan fisiologis sekecil apapun dapat diukur melalui sinyal sensor yang terpasang di berbagai bagian tubuh dan ditampilkan dalam bentuk grafik tinta pena atau secara visual dari komputer.

Cara kerja dari polygraph ini, dengan cara memasang atau menempelkan alat ke tubuh manusia dan mengajukan pertanyaan kepada subjek pemeriksaan. Hasil tes akan dituliskan pada kertas photograf yang dapat diperiksa atau dibaca oleh ahlinya (psikolog dan dokter) dan penyidik. Untuk membaca atau mengecek polugraph harus digunakan secara paralel dengan alat bukti yang lain agar memperkuat proses investigasi kepolisian.

Polygraph merupakan bagian dari pemeriksaan bidang fisika forensik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (2) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 10/2009), yang berbunyi:

(2) Jenis barang bukti yang dapat dilakukan pemeriksaan oleh Labfor Polri meliputi:

  1. pemeriksaan bidang fisika forensik, antara lain:
  2. deteksi kebohongan (Polygraph);
  3. analisa suara (Voice Analyzer);
  4. perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital), dan penyebab proses elektrostatis;
  5. perlengkapan listrik, pemanfaatan energi listrik, dan pencurian listrik;
  6. pesawat pembangkit tenaga dan pesawat mekanis;
  7. peralatan produksi;
  8. konstruksi bangunan dan struktur bangunan;
  9. kebakaran/pembakaran;
  10. peralatan/bahan radioaktif/nuklir;
  11. bekas jejak, bekas alat, rumah/anak kunci, dan pecahan kaca/keramik; dan
  12. kecelakaan kendaraan bermotor, kereta api, kendaraan air, dan pesawat udara;

Perkapolri 10/2009 juga mengisyaratkan bahwa penggunaan polygraph dalam pemeriksaan terhadap tersangka/saksi harus memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud Pasal 13 Ayat (1) Perkapolri 10/2009 yaitu:

  1. permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;
  2. laporan polisi;
  3. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
  4. surat persetujuan untuk diperiksa dari saksi/tersangka, bila saksi/tersangka didampingi oleh penasihat hukum maka surat persetujuan diketahui oleh penasihat hukumnya.

Dilihat dari ketentuan Perkapolri 10/2009, polygraph digunakan untuk keperluan pemeriksaan tersangka/saksi terhadap suatu peristiwa pidana. Selain Mengenai hasil pemeriksaan dari alat polygraph, dalam praktiknya terdapat pengkategorian mengenai hasil pemeriksaan polygraph ini sebagai alat bukti surat atau keeterangan ahli. Apabila mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, baik surat maupun keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah, sehingga menurut M. Yahya Harahap, dualisme pengkategorian tersebut tidak perlu dipermasalahkan karena keduanya memiliki kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat. Akan tetapi, apabila ditelisik lebih jauh, hasil pemeriksaan poligraf, baik dalam bentuk alat bukti surat maupun keterangan ahli, sesungguhnya berasal dari analisis pemeriksa poligraf terhadap tersangka dan hasil analisisnya dituangkan dalam bentuk laporan. Dengan demikian, sebelum mengkategorikan hasil pemeriksaan poligraf sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli, penting untuk ditelaah terlebih dahulu apakah pemeriksaan poligraf terhadap tersangka sudah dilakukan dengan prosedur yang benar dan memenuhi standar.

Berbicara mengenai keabsahan hasil pemeriksaan polygraph, terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai hal ini, diantaranya terdapat pendapat bahwa penggunaan alat polygraph dinilai berpotensi melanggar hak-hak tersangka/terdakwa, antara lain hak untuk diam, prinsip tidak menyalahkan diri sendiri maupun hak atas praduga tidak bersalah. Di lain sisi juga terdapat penelitian bahwa hasil pemeriksaan polygraph tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan tanpa diperkuat dengan keterangan ahli psikologi forensik yang memberikan pemaparan mengenai isi dari hasil analisa grafiknya.

Dengan demikian, menurut hemat kami, penggunaan alat bantu polygraph dalam proses pemeriksaan tersangka/saksi dapat digunakan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Perkapolri 10/2009 dan memperhatikan hak-hak dari tersangka/terdakwa dalam proses pemeriksaan tersebut. Selain itu, apabila menggunakan ahli untuk mendukung hasil pemeriksaan tersebut, aparat penegak hukum khususnya Jaksa dan Hakim perlu memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa agar pelanggaran terhadap hak-hak tersebut mengakibatkan hasil pemeriksaan poligraf memiliki nilai pembuktian dan sah digunakan untuk menyatakan kebersalahan tersangka/terdakwa.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan