Pengangkatan Anak Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129
Pertanyaan
apakah dalam kasus pembagian waris terhadap anak angkat dapat berpedoman pada staatsblad 129? mengingat telah ada PP No.54 tahun 2007 tentang pengangkatan anakdalam staatsblad 129 anak angkat di anggap sebagai anak kandung yang mengakibatkan putusnya hubungan anak dan orang tua kandungnya. sedangkan pada PP 54 menyatakan sebaliknya. mohon pencerahannya.Ulasan Lengkap
Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, perlu kiranya kami jelaskan terlebih dahulu terkait dengan keberlakuan staatsblad 129 dan hubungannya dengan anak saat ini.
Mengenai pengangkatan anak dalam Staatsblad 1917 Nomor 129, dalam Pasal 5 sampai Pasal 15 mengatur masalah pengangkatan anak (adopsi) bagi golongan masyarakat Tionghoa. Namun dalam perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang menggunakan ketentuan dalam Staatsblad tersebut. Dalam ketentuan Pasal 8 sampai Pasal 10 Staatsblad 1917 nomor 129, mengatur tata cara pengangkatan anak, yang menjelaskan bahwa:
- Persetujuan orang yang mengangkat anak :
- Jika anak yang diangkat itu adalah anak yang sah dari orang tuanya, maka diperlukan izin orang tua itu jika bapaknya sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta peninggalan selaku penguasa wali.
- Jika anak yang diangkat itu adalah lahir diluar perkawinan, maka diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta dari balai harta peninggalan.
- Jika anak yang akan diangkat itu sudah berusia 19 tahun, maka diperlukan persetujuan dari anak itu sendiri.
- Manakala yang akan mengangkat anak itu seorang janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki ayah yang masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki, dari keluarga almarhuma suaminya dalam garis laki-laki sampai derajat keempat
Mengenai keberlakuan dari Staatsblad 1917 Nomor 129, terdapat Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/P tertanggal 29 Mei 1963 yang didalam putusannya majelis hakim berpendapat bahwa:
- Bahwa peraturan adopsi bagi golongan Tionghoa dalam Staatsblad No. 129 tahun 1917 adalah pelaksanaan politik kolonial dalam hukum.
- Bahwa peraturan pasal 5, 6, dan 15 dalam Staatsblad No. 129 tahun 1917 sudah tidak punya hak hidup lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Bahwa dengan demikian warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi terikat oleh Staatsblad No. 129 tahun 1917 yang mengatur pengangkatan anak terbatas pada anak lelaki saja, tetapi juga dapat dilakukan terhadap anak perempuan asal saja hal itu dikenal dalam Hukum Adat Tionghoa.
- Bahwa pengangkatan anak perempuan tidak perlu dituangkan dalam akta notaris, akan tetapi dengan putusan Pengadilan Negeri.
Staatsblad 1917 No. 129 mengenai warisan bagi anak angkat, dalam Pasal 12 ayat (1) dari staatsblad ini berbunyi, jika suami istri mengadopsi seorang anak laki-laki, maka anak itu dianggap telah dilahirkan dari perkawinan mereka. Jadi dalam Pasal 12 aya t(1) itu, dianggap sebagai anak sah dalam ikatan hukumnya adalah sah akan tetapi ikatan biologisnya sudah tentu tidak mungkin sama (sedarah). Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap anak dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya. Pasal ini lebih dititik beratkan kepada ikatan keturunan hubungan darah antara anak dengan orang tua yang dilahirkannya atau dibuahkan sepanjang perkawinan.”
Perlu diketahui bahwa anak sah mempunyai bagian mutlak dalam warisan dan sesuai dengan bunyi Pasal 913 KUHPerdata sebagai berikut:
“Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antar yang masih hidup maupun selaku wasiat.”
Dengan demikian menurut Staatsblad 1917 No. 129 bahwa anak angkat akan putus nasabnya kepada orangtua kandungnya, dan terjadi hubungan nasab dengan orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tersebut juga menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Namun Staatsblad ini memberikan pembatasan lain dari hak mewarisi anak angkat (adopsi) adalah bahwa anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.
Berkaitan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP 54/2007), disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1 PP 54/2007 menyebutkan bahwa:
“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.”
Berdasar asas lex posterior derogat legi priori, maka PP 54/2007 menggantikan keberlakuan Staatsblad 1917 No. 129. Oleh karena itu PP 54/2007 merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang bertujuan agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga tidak mengatur secara spesifik terkait dengan hak anak angkat untuk mendapatkan warisan.
Dengan demikian, Staatsblad 1917 No. 129 yang sudah tidak berlaku di Indonesia sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, sehingga ketentuan mengenai hak waris bagi anak angkat dapat mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata (untuk lebih lanjut silahkan lihat jawaban kami yang berjudul Hukum Waris Untuk Anak Angkat).
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan