Pembagian Warisan Dalam KUHPerdata & KHI
Pertanyaan
Sore Pak/Bu, saya ingin bertanya mengenai soal warisan. Jadi begini alur cerita faktanya, kakek saya sudah meninggal dunia, waktu selama hidupnya mempunyai harta yang cukup banyak seperti rumah tinggal, motor, sawah, kebun, rumah, dan beberapa bangunan toko tempat usaha. Terus sekarang yang tersisa tinggal Nenek dan 3 orang anak kandungnya perempuan semua, beserta 11 anak cucunya. Lalu yang saya tanyakan untuk perihal masalah warisan apakah akan kebagian semua kah Pak/Bu Mohon untuk penjelasannya terimakasih. Saya tunggu jawaban secepatnyaUlasan Lengkap
Pada prinsipnya warisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. Ataupun permasalahan lainnya.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa terdapat tiga hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris Islam yang umumnya diikuti oleh para pemeluk agama Islam dan hukum waris KUH Perdata/BW serta hukum waris Adat. Dalam menjawab pertanyaan Anda, kami akan menggunakan dasar hukum waris KUH Perdata/BW dan hukum waris Islam sebagai berikut:.
Konsep Hukum Waris Menurut KUH Perdata
Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata barat yang bersumber pada Burgerlijk Wetboek (BW) atau disebut juga dengan KUH Perdata merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan.” Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW.
Mencermati pertanyaan Anda terkait dengan siapa saja yang berhak menerima waris manakala ibu, anak kandung dan cucu masih hidup semua, maka berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:
Golongan I: keluarga yang berada pada garis lurus ke bawah, yaitu suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak, dan keturunan beserta suami atau istri yang hidup lebih lama.
Golongan II: keluarga yang berada pada garis lurus ke atas, seperti orang tua dan saudara beserta keturunannya.
Golongan III: terdiri dari kakek, nenek, dan leluhur.
Golongan IV: anggota keluarga yang berada pada garis ke samping dan keluarga lainnya hingga derajat keenam
Masih adanya golongan pertama, menghalangi golongan selanjutnya untuk menjadi ahli waris. Oleh karena itu, dikarenakan istri dan anak kandung dari Pewaris (almarhum) masih hidup, maka merekalah yang berhak untuk memperoleh harta waris, sedangkan cucu dari Pewaris dalam hal ini tidak dapat memperoleh harta waris karena sudah terhalang oleh anak-anak Pewaris.
Berbeda halnya apabila salah satu atau semua anak kandung telah meninggal dunia, yang mana menyebabkan cucu kandung dari Pewaris menjadi ahli waris pengganti dari anak Pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu tersebut. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 841 dan 842 KUHPerdata yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 841 KUH Perdata
Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.
Pasal 842 KUH Perdata
Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hak, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
Konsep Waris Menurut Hukum Islam
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat sebagaimana diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih.” Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris”.
Pembagian warisan merupakan proses bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada ahli waris ketika pewaris itu sudah meninggal dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasa dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah pewaris wafat. Ketentuan umum yang terdapat dalam KHI (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam) berisi penjelasan mengenai wewenang pembagian hukum waris, pewaris, wasiat, hibah, anak angkat dan baitul mal. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu:
- Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam AlQur’an disebut dzul faraa’idh, yaitu ahli waris langsung yang selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah;
- Ahli waris yang ditarik dari garis ayah disebut Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal Sjafi’i adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul faraa’idh, yaitu bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada ashabah. Dengan demikian, apabila ada pewaris yang meninggal tidak mempunyai ahli waris dzul faraa’idh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu), maka harta peninggalan diwarisi oleh ashabah. Akan tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh itu ada, maka sisa bagian dzul faraa’idh menjadi bagian ashabah.
- Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja.”
Untuk pembagian waris menurut hukum islam kepada cucu tidak diberikan bagian waris karena terhalang oleh bagian waris yang jatuh kepada anak kandung. Pada praktiknya pemberian waris kepada cucu meskipun tidak diperkenankan namun dapat berupa hibah wasiat kepada cucu, yang diberikan oleh Pewaris (Almarhum) pada masa hidupnya yang harus dituangkan dalam suatu akta otentik. Adapunjumlah keseluruhan hibah wasiat yang diberikan tersebut tidak diperkenankan melebihi jumlah 1/3 dari harta peninggalannya.
(Lebih lanjut, silahkan dibaca Pembagian Warisan Menurut KUHPerdata dan KHI)
Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga dapat bermanfaat.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan