Mengatasi Permasalahan Administratif Pendaftaran Pernikahan Karena Kesalahan Akta Kelahiran
Pertanyaan
Seorang cewek umur 26 th mau nikah, setelah mau proses pendaftaran ke p3n terjadi permasalahan di akte kelahiran. Ternyata gadis tsb mulai bayi sdh ikut kakek neneknya dr ibu gadis tsb. Pada akte kelahirannya nama ortunya adalah kakek neneknya, jg sdh dimasukkan KK kakekneneknya sbg anak kandung. Bagaimana solusinya agar proses pernikahannya bisa berjalan. TerimakasihUlasan Lengkap
Administratif Pendaftaran Pernikahan
Pencatatan pernikahan merupakan salah satu syarat pernikahan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Oleh karena itu, setiap warga yang akan menikah di Indonesia diharuskan untuk melakukan proses administratif terlebih dahulu.
Mencermati pertanyaan Saudara yang menyebutkan tentang P3N, maka kami mengasumsikan bahwa pernikahan tersebut akan dilakukan secara Islam, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah (selanjutnya disebut “Permenag 11/2007”) yang menyatakan:
“Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu”
Pernikahan secara Islam di Indonesia memang memiliki perbedaan atau kekhususan sendiri dibandingkan pernikahan dengan tata cara agama lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada pendaftaran pencatatan secara Islam yang dilakukan melalui Kantor Urusan Agama pada saat pernikahan tersebut terlaksana, sedangkan pernikahan dengan tata cara agama lainnya dicatat di Dispendukcapil berdasarkan sertifikat pernikahan yang diterbitkan oleh pemuka agama masing-masing..
Proses administratif pendaftaran pernikahan berdasarkan hukum Islam dilakukan dengan terlebih dahulu memberitahukan kehendak pernikahan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Permenag 11/2007 dengan melampirkan:
“a. surat keterangan untuk nikah dari Kepala Desa /Lurah atau nama lainnya;
- kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
- persetujuan kedua calon mempelai;
- surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
- izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun;
- izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
- dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun;
- surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
- putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
- Kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;
- Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.”
Pada dasarnya, akta kelahiran tersebut dibutuhkan salah satunya untuk menjamin bahwa benar yang bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan tersebut telah sesuai dengan hukum Islam. Adapun wali nikah diatur dalam Pasal 21 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut “KHI”) yang mengatur bahwa wali nikah terdiri atas:
Kelompok 1: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya
Kelompok 2: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka
Kelompok 3: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan seturunan laki-laki mereka
Kelompok 4: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka yang berhak untuk menjadi wali hanyalah garis laki-laki dari ayah maupun saudara kandung.
Adapun untuk wali hakim hanya dapat diterapkan manakala wali nasab sebagaimana disebutkan di atas tidak ada, tidak mungkin hadir, atau tidak diketahui tempat tinggalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) KHI. Oleh karena itu, pada dasarnya kakek dari pihak ibu tidak memiliki hak untuk menjadi wali pernikahan perempuan.
Kesalahan Akta Kelahiran
Selanjutnya, manakala ditemukan permasalahan kesalahan akta kelahiran seperti yang Saudara sampaikan dalam pertanyaan Saudara tersebut, maka tentunya dapat disampaikan kepada P3N, dan besar kemungkinannya harus dilakukan pembenaran atau perubahan akta kelahiran terlebih dahulu, terlebih jika diketahui keberadaan ayah kandung.
Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat. Tentunya dalam pengajuan permohonan tersebut, harus dihadirkan saksi-saksi yang dapat memberikan keterangan atau pernyataan bahwasanya orangtua anak perempuan tersebut tidak sama dengan nama orangtua yang ada dalam Akta Kelahiran.
Manakala Pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka penetapan yang ada dapat digunakan sebagai dasar perubahan Akta Kelahiran. Adapun jika ayah dari anak tersebut tidak dapat diketahui keberadaannya, maka dapat dipergunakan wali hakim guna menikahkan anak perempuan tersebut.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan: Menyebutkan kewajiban melaporkan perubahan status kependudukan dan kelahiran anak.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Menetapkan persyaratan dan prosedur perkawinan, termasuk identitas calon suami istri.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia: Menyebutkan kewajiban melaporkan perubahan dalam hal kewarganegaraan.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan