Hak Menuntut Harta Waris Dari Kakek

Pertanyaan
Mulanya kakek saya meninggal meninggalkan nenek saya dan 2 org anak (yaitu ibu saya dan bibi saya) dan mempunyai sejumlah tanah. Kemudian nenek saya menikah lagi dan mempunyai 3 org anak ( yaitu 2 paman saya dan 1 bibi saya ). Tetapi sebelum nenek dan kakek tiri saya meninggal anak anak tiri dari kakek kandung saya sudah membangun rumah dari tanah kakek kandung saya sedangkan ibu saya sebagai anak kandungnya belum punya. Setelah nenek saya meninggal, disusul kakek tiri saya meninggal disitu ada kesepakatan ibu saya dapet sebidang tanah. Lalu ada msalah dari ade tiri (laki") ibu saya yang membuat tanah ibu saya dijual tapi ibu saya tidak dapat apa" dari hasil jual tanah itu. Ibu saya pun gak enak untuk meminta hak nya kembali dan tidak ada pengembalian tanah atau uang juga dari ade tirinya. Setelah bbrpa puluh tahun ibu saya pun meninggal dan selang bbrpa tahun kita menanyakan hak untuk alm ibu saya yg tidak ada kejelasan. Apakah salah sebagai anak menanyakan hak warisan ibu saya setelah ibu saya meninggal? Apakah hukumnya menagih hak alm ibu saya dan apakah saya dan kaka saya bisa mendapatkan ahli waris dari ibu saya ?Ulasan Lengkap
Terima kasih atas pertanyaan Saudara,
Sebelumnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu tentang hak waris yang diperoleh Ibu Saudara tersebut. Namun demikian, dikarenakan tidak disebutkan hukum waris apa yang digunakan, mengingat di Indonesia berlaku 3 Hukum Waris yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris KUH Perdata, dan Hukum Waris Adat, maka dalam memberikan jawaban kami akan menggunakan dasar Hukum Waris Islam dan Hukum Waris KUH Perdata.
Meninggalnya Kakek Kandung Saudara, mengakibatkan adanya pembagian waris terhadap para ahli warisnya, yaitu istri dan anak-anaknya. Adapun sebelum harta tersebut dibagi, harus terlebih dahulu dipastikan bahwa harta tersebut sudah terbebas dari harta bersama yang menjadi hak Nenek Saudara, yaitu sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai harta yang diperoleh selama pernikahan Kakek dan Nenek Kandung Saudara.
Dikarenakan ahli waris hanya terdiri dari istri dan anak-anak Kakek Kandung Saudara, maka masing-masing ahli waris tersebut memperoleh harta sebesar 1/3 dari seluruh nilai harta waris. Oleh karena itu, Ibu Saudara memiliki hak atas harta waris yang ditinggalkan oleh Kakek Kandung Saudara.
Lebih lanjut, dikarenakan Nenek Saudara juga telah meninggal dunia, maka Ibu Saudara yang merupakan anak kandung Nenek, juga memiliki hak untuk menjadi ahli waris selama tidak terhalang sebagai Ahli Waris. Dalam hal ini, harta yang diperolehnya selama pernikahan dengan Kakek Tiri harus terlebih dahulu dibagi 2, dimana Kakek Tiri memiliki hak atas harta bersama sebesar 50%. Perlu diingat, bahwa harta yang diperoleh selama pernikahan Nenek dengan Kakek Kandung Saudara yang menjadi hak Nenek tidak dapat menjadi harta bersama antara Nenek dengan Kakek Tiri, melainkan menjadi hak waris. Oleh karena itu, dengan meninggalnya Nenek, maka Ibu Saudara memiliki hak waris dari harta yang ditinggalkan Nenek sebesar 1/5 (apabila Kakek Tiri meninggal lebih dahulu) atau 1/6 (apabila Kakek Tiri meninggal setelah meninggalnya Nenek).
Berbeda dengan Hak Waris KUH Perdata, Hukum Waris Islam memberikan hak kepada orang tua Pewaris (orang yang meninggal dunia) untuk menjadi Ahli Waris. Manakala Orang tua Pewaris meninggal dunia, dan Pewaris memiliki anak dan pasangan (suami/istri), maka yang berhak menjadi Ahli Waris hanyalah anak dan pasangan Pewaris.
Lebih lanjut, tidak berbeda dengan Hukum Waris KUH Perdata, harta waris Kakek Kandung Saudara tersebut harus terbebas dari harta bersama yang 50% (lima puluh persen) bagiannya adalah milik Nenek. Setelah bagian Nenek dihilangkan dari harta waris tersebut, barulah harta waris tersebut dibagikan kepada Para Ahli Waris, termasuk Ibu Saudara.
Selanjutnya, ketika Nenek meninggal dunia, harus terlebih dahulu dilihat apakah Kakek Tiri telah meninggal dunia atau belum. Jika Kakek Tiri meninggal setelah Nenek, maka Kakek Tiri tetap memiliki hak untuk menjadi Ahli Waris. Sebaliknya, jika Kakek Tiri meninggal sebelum Nenek, maka Ahli Waris hanya anak-anak Nenek, termasuk Ibu Saudara selama tidak terhalang sebagai Ahli Waris.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka lebih dahulu ditelusuri nilai harta waris Kakek Kandung, beserta bagian yang diperoleh Nenek, tidak terkecuali harta bersama bagian Nenek yang diperoleh selama pernikahannya dengan Kakek Kandung Saudara. Adapun Hak Atas Tanah merupakan benda tidak bergerak, yang kepemilikannya dapat dilakukan dengan pendaftaran, sebagaimana Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960). Oleh karena itu, Saudara dapat terlebih dahulu memeriksa status Hak Atas Tanah dimaksud, apakah masih atas nama Kakek Kandung Saudara, atau sudah atas nama Nenek.
Apabila ternyata Lahan/Bidang Tanah yang telah dibangun rumah oleh anak-anak Nenek hasil perkawinan dengan Kakek Tiri, maka juga perlu ditelusuri apakah lahan tersebut adalah harta bersama antara Kakek Kandung dan Nenek Saudara yang menjadi bagian dari Nenek Saudara. Apabila ternyata belum ada pembagian yang jelas, maka seharusnya tidak pernah ada perubahan nama Hak Atas Tanah, dan Hak Atas Tanah tersebut masih atas nama Kakek Kandung Saudara atau atas nama Nenek Saudara yang diterbitkan semasa pernikahan dengan Kakek Kandung Saudara.
Manakala Hak Atas Tanah masih tercatat milik Kakek Kandung Saudara, maka Saudara dapat memohon penetapan waris kepada Pengadilan Negeri (apabila menggunakan Hukum Waris KUH Perdata) atau kepada Pengadilan Agama (apabila menggunakan Hukum Waris Islam) setempat, guna menetapkan siapa ahli waris Kakek Kandung Saudara. Selanjutnya, dikarenakan Nenek Saudara menikah 2 (dua) kali, maka Saudara juga dapat meminta permohonan penetapan waris yang dapat memperjelas siapa ahli waris Nenek Saudara dan bagian yang diperoleh oleh Ibu Saudara. Selanjutnya, Saudara juga dapat meminta penetapan waris Ibu Saudara, sehingga Saudara memiliki hak secara sah sebagai ahli waris Ibu Saudara dan memperoleh seluruh harta waris.
Dengan demikian, Saudara memiliki hak untuk menuntut harta waris dari Kakek Kandung Saudara, Nenek Kandung Saudara, dan harta yang semestinya dimiliki atau diperoleh oleh Ibu Saudara. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan musyawarah terlebih dahulu guna memperoleh penyelesaian yang win-win solution, dan tidak memecah hubungan keluarga. Namun apabila tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, maka Saudara dapat mengirimkan somasi, dan jika tetap tidak ada penyelesaikan maka Saudara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan