Hak Mewaris Dalam Hukum Waris Di Indonesia

Perbedaan korupsi dan penggelapan Photo by pexels-george-becker

Pertanyaan

saya anak angkat yg punya akte kelahiran. yg mana disitu tertulis orang tua kandung saya adalah bpk dan ibu yg mengangkat saya sebagai anak. 10 tahun yg lalu kakak laki"' yg merupakan anak kandung mereka menjual semua rumah, tanah, dan sawah milik orangtua kami saat saya msh bekerja di luar negeri( sampai sekarang saya msh di LN) . apakah saya punya hak waris,? bisakah saya menuntut hak saya lewat pengacara? dengan bukti" berupa akte kelahiran. jg smua STTB mulai dr TK s/d SMK adalah orangtua kandung saya atas nama mereka. terimakasih.

Ulasan Lengkap

Bahwa pertanyaan di atas tidak menyebutkan tahun penerbitan akta, sehingga kami akan menjawab berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU 35/2014), pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Sedangkan pembuatan akta kelahiran bagi anak angkat dilakukan setelah seluruh prosedur pengangkatan selesai dan selanjutnya akan dibuat catatan pinggir pada akta kelahiran anak tersebut.

Pembuatan akta kelahiran tanpa mencantumkan nama orang tua kandungnya tidak dapat dibenarkan karena menghilangkan identitas awal anak, hal ini merujuk dari Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak harus dilakukan melalui penetapan pengadilan, dan dinyatakan pula bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Namun demikian, isi akta kelahiran sebagai akta otentik dianggap benar kecuali jika dapat dibuktikan sebaiknya (Pasal 1870 KUHPerdata). Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka pihak yang memalsukan surat dan/atau dokumen dalam melaporkan peristiwa kependudukan dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Oleh karena didalam pertanyaan tidak disebutkan mengenai pembatalan Akta Kelahiran, maka Akta Kelahiran tersebut tetap berlaku selama tidak dibatalkan, dan oleh karena itu Saudara tidak berkedudukan sebagai anak angkat melainkan tetap sebagai anak kandung yang berhak atas segala warisan. Dalam hal ini Saudara dan saudara laki laki Saudara disebut sebagai ahli waris dan orangtua Saudara disebut sebagai pewaris.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tanpa adanya pembatalan Akta Kelahiran Saudara, maka Saudara tetap berstatus sebagai anak kandung dari orangtua (yang Saudara sebut orangtua angkat) tersebut. Mencermati pertanyaan Saudara, tidak dijelaskan apakah kakak Saudara melakukan penjualan saat orangtua masih hidup atau tidak, namun perlu diketahui bahwa hak waris dan hubungan pewarisan baru akan timbul manakala pewaris telah meninggal dunia (dalam hal ini adalah orang tua Saudara tersebut). Apabila penjualan dilakukan saat orangtua masih hidup, maka tentu harus terlebih dahulu ditelusuri apakah kakak Saudara memiliki hak dan kewenangan untuk pengalihan hak tersebut dari orangtua Saudara, sebab jika tidak maka kakak Saudara dapat dikenakan pasal penggelapan. Namun jika kakak Saudara telah memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan penjualan saat orangtua Saudara masih hidup, maka Saudara tidak memiliki hak untuk menuntut hasil penjualan tersebut, sebab yang berhak adalah orangtua Saudara.

Bahwa lebih lanjut, apabila penjualan dilakukan setelah orangtua Saudara meninggal dunia, maka kakak Saudara dapat dikenakan pasal penggelapan karena didalam barang barang tersebut masih ada hak Saudara, sehingga penjualan harus dengan persetujuan Saudara. Oleh karena itu, Saudara yang juga merupakan anak kandung dari orangtua Saudara memiliki hak untuk mewarisi harta dari orangtua Saudara dengan porsi tertentu. Selanjutnya, dikarenakan tidak disebutkan agama yang dianut oleh pewaris maupun ahli waris, maka berikut akan dijelaskan terkait dengan pewarisan dari segi hukum waris islam, hukum waris BW, maupun hukum waris adat.

Berdasarkan Hukum Waris Islam

Dikarenakan pertanyaan tidak memberikan penjelasan mengenai siapa saja yang hidup, maka perhitungan tidak dapat diberikan dalam jawaban ini, namun bagian kakak Saudara dan bagian Saudara adalah 2 banding 1. Bahwa jika ternyata terdapat pembatalan atas Akta Kelahiran Saudara sehingga Saudara kembali berstatus sebagai anak angkat, maka Saudara tidak memiliki hak untuk mewaris sebagaimana diatur pada Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam sistem hukum pewarisan islam,  pengangkatan anak tidak banyak  memberikan pengaruh terhadap hubungan darah anak tersebut dengan orang tua angkatnya.  Anak angkat sama  sekali tidak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, namun demi melindungi hak dari anak angkat tersebut maka orang tua angkat dapat memberikan wasiat asalkan tidak melebihi ⅓ harta peninggalan.[1]

Dalam hukum kewarisan anak angkat tidak termasuk ahli waris, karena secara biologis tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orangtua angkatnya kecuali anak angkat itu diambil dari keluarga orangtua angkatnya yang masih memiliki hak untuk menjadi ahli waris dari orangtua angkat. Karena bukan ahli waris, maka anak angkat tidak mendapatkan bagian sebagai ahli waris dari warisan orang tua angkatnya. Walaupun tidak mendapat warisan dari orangtua angkatnya akan tetapi anak angkat mendapat wasiat wajibat untuk mendapatkan harta warisan orangtua angkatnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh KHI dalam pasal 209 ayat (a): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya”. Kalaulah pengangkatan anak itu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka tidak akan menimbulkan sengketa kewarisan. Sebab sudah jelas kedudukan anak angkat tidak sebagai ahli waris dari orangtua angkatnya, anak angkat dapat menerima warisan orangtua angkatnya dengan jalan wasiat wajibat.[2]

Berdasarkan Hukum Waris BW

Sama halnya dengan hukum Islam, apabila hukum yang digunakan oleh pewaris dan ahli waris adalah hukum perdata BW, maka Saudara yang Akta Kelahirannya masih berlaku, masih berstatus sebagai anak kandung dan berhak untuk mendapatkan waris. Selanjutnya, anak angkat bukanlah ahli waris yang dimaksud dalam Pasal 852   ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka  selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.

Namun,  anak  angkat  dapat  memperoleh  warisan  dengan  cara  diberi  hibah  oleh  pewaris.  Pemberian  hibah  diatur  dalam  ketentuan  Pasal  957  KUHPerdata  yang  menyatakan  bahwa  suatu  penetapan  wasiat  yang  khusus  dengan  mana  si  yang  mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak  bergerak  atau  memberikan  hak  pakai  hasil  atas  seluruh  atau  sebagian  harta  peninggalannya. Pemberian  hibah  wasiat  sebagai  pemenuhan  hak  anak  angkat  terhadap harta waris harus dilakukan secara adil.

Makna dari kata adil yaitu jika pemberian hibah tersebut memiliki nilai yang terlalu besar sehingga mengurangi hak dari ahli waris sah, maka nominalnya harus dikurangi. Sementara itu, apabila orang tua angkat adalah penghibah  telah mewasiatkan ketentuan lain, maka pemberian harta berjumlah besar dapat dilakukan. Hal tersebut sesuai  dengan Pasal 957 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang  ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain  dalam surat wasiatnya.

Kemudian, syarat memberikan hibah kepada anak angkat yaitu hibah bersifat sukarela, membuat akta hibah di hadapan notaris dengan ditandai surat persetujuan pemberian hibah dari pewaris (orang tua angkat) dan anak kandungnya (jika ada) dan surat persetujuan tersebut harus dilegalisir oleh notaris. Bila yang diangkat adalah anak  sah, maka kedua orang tuanya harus memberikan persetujuan. Jika salah satu ada yang meninggal maka hanya diperlukan persetujuan dari orang yang masih hidup.

Namun, jika orang tua yang masih hidup adalah ibu si anak dan ibu telah kawin atau kedua orang tuanya meninggal maka yang berhak memberikan persetujuan adalah wali si anak dan balai harta peninggalan (Pasal 8 sub 2a Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917). Sedangkan apabila anak angkatnya adalah anak luar kawin maka persetujuannya harus diberikan oleh bapak dan/atau ibunya yang telah mengakuinya. Kemudian jika kedua orang tua telah mengakui tetapi salah satu diantaranya meninggal maka persetujuannya dari bapak atau ibu yang masih  hidup. Sementara itu, jika bapak dan ibunya tidak mengakui atau keduanya meninggal dunia maka persetujuannya  adalah wali si anak dan balai harta peninggalan (Pasal 8 sub 2b Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917).[3]

Berdasarkan Hukum Waris Adat

Hukum Waris Adat diperuntukan bagi masyarakat kelompok adat yang tunduk kepada hukum adat. Pembagian harta waris yang diberikan mengacu kepada aturan adat masyarakat tertentu berdasarkan sistem kekerabatannya contohnya seperti patrilineal (Batak), matrilineal (Minangkabau), dan parental (Jawa).[4] Dalam hukum waris adat  ketika seorang pasangan suami dan istri tidak memiliki keturunan dan mengangkat seorang anak maka pasangan tersebut dapat mengangkat anak. Anak angkat memiliki hak mewaris dari harta peninggalan orang tua angkatnya  sebatas harta bersama/harta gono-gini dan tidak berhak untuk mewaris harta bawaan orang tua angkatnya dengan bagian yang didapat sama dengan bagian anak kandung. Namun hal tersebut juga bergantung kepada aturan adat  di  berbagai daerah seperti masyarakat patrilineal, matrilineal, dan parental.[5]

  • Patrilineal

Anak angkat hanya memiliki hak waris terhadap harta bersama dalam perkawinan yang telah berlangsung tersebut. Dan maksud dari harta bersama yaitu harta benda kekayaan keluarga yang merupakan harta peninggalan yang  berasal dari harta asal suami dan harta asal istri serta harta bersama atau harta pencarian.[6]

  • Matrilineal

Dalam adat Minangkabau harta warisan dibedakan menjadi 2 macam yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta garapan nenek moyang yang diwarisi turun-temurun dari mamak kepada kemenakan pada suatu kaum. Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma, harta pusaka tinggi yaitu rumah gadang atau sawah pusaka dan harta pusaka tinggi tidak dapat di bagi maupun dijual kecuali dalam keadaan terpaksa diperbolehkan untuk digadaikan. Sementara itu, harta pusaka rendah dimaknai sebagai harta yang diturunkan antar generasi yang terdiri dari harta terpaan, harta bawaan, harta pencarian, dan harta suarang.  Menurut Hilman  Hadikusuma, harta pusaka rendah adalah segala harta peninggalan dari satu atau dua generasi kerabat, misalnya  dari satu kakek atau nenek kepada keturunannya yang meliputi kesatuan anggota kerabat tersebut yang tidak begitu banyak. Oleh karena itu, anak angkat tidak berhak atas harta pusaka tinggi maupun pusaka rendah, ia hanya berhak atas harta bersama dalam perkawinan tersebut saja.

  • Parental

Untuk anak angkat ia hanya mewaris terhadap harta bersama saja atau ia tidak berhak mewaris dari harta asal bawaan masing-masing pihak yaitu bapak dan ibunya. Oleh karena itu, sistem pembagian warisan dalam masyarakat parental ini adalah individual artinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pewaris kepada para ahli warisnya dan dapat dimiliki secara pribadi (individu).[7]

 

[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 209 ayat 2

[2] https://www.pa-jakartatimur.go.id/artikel/332-anak-angkat-dan-sengketa-waris, diakses pada 12 April 2022

[3] Berlino Askandar Tjokroprawiro, Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Hukum Positif Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2007, Hlm 44-45

[4] Gunawan, Muhammad Rizqullah Dany Putranto, Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Berdasarkan Hukum Waris di Indonesia, Media juris Vol. 3 No. 2, Juni 2020, Hlm 162

[5] Ibid, Hlm 163

[6] Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia (Prenadamedia Group 2018), Hlm 34

[7] Op.Cit, Hlm 38

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan