Perjanjian Pra-Nikah bagi Umat Islam Berdasarkan Hukum di Indonesia

Pertanyaan

Setahu saya dalam hukum Islam, perjanjian pra-nikah tidak diperbolehkan dan pernikahan di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan agamanya masing-masing. Saya seorang muslim, apabila saya ingin membuat perjanjian pra-nikah apakah dimungkinkan?

Ulasan Lengkap

            Perjanjian pra-nikah atau yang biasa disebut dengan prenuptial agreement merupakan perjanjian yang dilakukan oleh beberapa pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Prenuptial agreement biasanya berisikan tentang pembagian harta kekayaan antara suami dan istri, tanggung jawab keduanya apa saja, atau hal-hal lain sesuai kesepakatan diantara keduanya guna mempermudah pembagian harta apabila dalam perjalanan mengarungi rumah tangga terjadi perselisihan yang dimungkinkan terjadinya perceraian ataupun perpisahan karena salah satunya meninggal dunia. Pada dasarnya prenuptial agreement diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Secara umum, peraturan tersebutlah yang menjadi dasar bagi calon pasangan suami istri dan/atau pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan.

            Namun, mengingat pertanyaan yang diajukan yaitu mengenai bagaimana pandangan hukum Islam di Indonesia mengenai perjanjian pranikah, maka rujukan yang menjadi dasarnya yaitu peraturan dalam hukum Islam. Peraturan yang mengatur mengenai ketentuan dalam hukum Islam di Indonesia di kodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 45 Buku I mengenai Hukum Perkawinan KHI menyatakan bahwa :

“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :

    1. Taklik talak; dan
    2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 huruf e KHI menyatakan bahwa Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Isi Taklik talak tidak boleh bertentangan hukum islam sebagaimana ketentuan Pasal 46 ayat (1) KHI. Apabila keadaan yang disyaratkan benar-benar terjadi bukan berarti langsung bisa talak, tetapi istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Pasal 46 ayat (2) KHI. Taklik talak bukanlah suatu kewajiban, namun apabila taklik talak sekali diperjanjikan maka tidak dapat dicabut kembali sebagaimana ketentuan Pasal 46 ayat (3) KHI. Sedangkan perjanjian lain yang dimaksud dalam Pasal 45 angka 2 diatur dalam ketentuan Pasal 47 sampai dengan ketentuan Pasal 52 KHI.

            Pasal 47 sampai dengan Pasal 52 KHI secara umum mengenai perjanjian perkawinan terkait harta kekayaan kedua belah pihak baik untuk suami maupun istrinya. Pasal 47 ayat (1) KHI menyatakan :

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.”

 

Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian sebagaimana ketentuan Pasal 47 ayat (2) KHI. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) KHI perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana ketentuan Pasal 50 ayat (1) KHI. Berdasarkan ketentuan tersebut maka tentu sudah menjawab pertanyaan yang diajukan. Secara garis besar perjanjian pra-nikah atau prenuptial agreement dalam hukum Islam di Indonesia diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam baik yang diatur dalam KHI maupun hukum lain yang menjadi dasar bagi pemeluk agama Islam untuk taat beragama, seperti hadist dan Al-qur’an. Salah satu contoh perjanjian yang bertentangan dengan hukum Islam misalnya dalam perjanjian pranikah atau prenuptial agreement menyatakan bahwa permisahan harta bersama menyebabkan dan/atau atau menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan mengenai kewajiban suami menafkahi istri sebagaimana yang diajarkan dalam surat Al-baqarah ayat 233 yang menyatakan :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. [Al-Baqarah/2:233]”

 

Selain itu, Pasal 48 ayat (1) KHI juga menyatakan bahwa apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan