Pencabutan Hibah Oleh Ibu Kepada Anak Atas Harta yang Diperoleh Dari Hasil Penjualan Harta Anak Yang Dihibahkan Dari Kakek
Pertanyaan
Seorang Kakek (Hindu) memberikan hadiah berupa sebidang tanah kepada cucu laki-lakinya yang masih bayi (Islam) dan dititipkan kepada anak perempuannya (mualaf)ibu bayi tsb. Usia SD (bayi) tanah tersebut dijual oleh ibunya dan hasil penjualan tersebut dibeli sebidang tanah dan untuk modal usaha. Tanah yang dibeli tersebut ditukar lagi dengan sebidang tanah setelah anak laki-laki tersebut berusia sekitar 18 tahun. Dan pada usia 22 tahun tanah yang dititip setelah dijual dan ditukar diberikan kepada anak tersebut dengan cara hibah dari si Ibu kepada anak laki-lakinya disaksikan Suaminya dan tokoh agama dan tokoh masyarakat juga kepala desa dan adik laki-lakinya . Kemudian dengan alas syarat hibah dibuatkan sertifikat. Begitu dihibahkan dan bersertifikat tanah tersebut dibangunkan rumah dan ditempati oleh anak tersebut. Di usia anak 53 tahun dan si ibu (96 tahun) ingin mencabut hibah tanah tersebut karena ingin memberikannya pula kepada 3 orang Kakak perempuan dan 1 orang adik laki-laki dari anak laki-laki penerima hibah tanah tersebut. Bagaimana secara hukum pemerintah yang berlaku dan hukum secara IslamnyaUlasan Lengkap
Pencabutan Hibah Oleh Ibu Kepada Anak Atas Harta yang Diperoleh Dari Hasil Penjualan Harta Anak Yang Dihibahkan Dari Kakek
Terima kasih atas pertanyaan Saudara,
Penjualan Harta Hibah Dari Kakek
Dalam pertanyaan Saudara, disebutkan bahwa terdapat sebidang tanah yang dihibahkan oleh Kakek kepada Cucunya. Namun demikian, tidak disebutkan alas hak tanah yang dihibahkan tersebut. Manakala hibah tersebut adalah Hak Atas Tanah berupa hak-hak yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”), maka tentunya hibah tersebut harus dilakukan dan dicatatkan di Kantor Pertanahan setempat, serta harus pula dilakukan balik nama untuk kemudian dapat menjadi bukti kepemilikan oleh anak tersebut.
Selanjutnya, ketika hak atas tanah telah dibalik nama kepada anak tersebut, maka yang dapat melakukan penjualan terhadap hak atas tanah tersebut adalah wali dari anak yang belum cukup umur tersebut. Penjualan tersebut juga harus melalui izin penjualan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri setempat. Adapun dalam penjualan harta milik anak, harus memperhatikan diantaranya adalah penjualan dengan alasan untuk kepentingan atau biaya hidup anak, sehingga tidak seharusnya penjualan tersebut dilakukan untuk kepentingan wali.
Hasil Penjualan Harta Hibah Dihibahkan Kembali Kepada Anak
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwasanya harta milik anak hanya dapat dijual untuk kepentingan anak dan biaya hidup anak. Manakala hasil penjualan tersebut kemudian dibelikan tanah kembali, maka seharusnya tetap menjadi milik anak, dan bukan dihibahkan kembali kepada anak.
Oleh karena itu, harus dapat dibuktikan bahwa penjualan harta anak tersebut tidak untuk kepentingan anak dan/atau biaya hidup anak. Di samping itu, perlu pula dibuktikan bahwa hak atas tanah yang dihibahkan oleh Ibu kepada anaknya dimaksud adalah harta yang berasal dari hasil penjualan harta milik anak tersebut.
Pencabutan Hibah Oleh Orangtua Kepada Anak
Hibah berdasar hukum Islam diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut “KHI”). Pasal 171 huruf g KHI memberikan penjelasan bahwa “hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.”
Selanjutnya, Pasal 212 KHI mengatur bahwa hibah dari orangtua kepada anaknya dapat ditarik kembali. Oleh karena itu, jika hibah tersebut telah sah dan mengikat, maka tentunya Ibu dapat menarik kembali/mencabut hibah.
Perlu pula diketahui, bahwasanya Pasal 211 mengatur bahwasanya hibah dari orangtua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Berdasar ketentuan tersebut, apabila tidak ada pencabutan hibah oleh Ibu dan apabila para ahli waris Ibu nantinya keberatan dengan penghibahan tersebut serta meminta harta hibah tersebut termasuk sebagai waris, maka harta hibah tersebut nanti akan diperhitungkan sebagai harta yang diwariskan kepada anak tersebut sebagai ahli waris. Ketentuan tersebut menjadi tidak berlaku manakala seluruh ahli waris telah bersedia dan setuju serta Ikhlas bahwasanya harta hibah tersebut tidak termasuk harta waris, sebagaimana pendapat Drs. Dede Ibin, S.H. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung) dalam tulisannya berjudul Hibah, Fungsi dan Korelasinya dengan Kewarisan (diunduh dari www.badilag.net):
“Pengertian ‘dapat’ dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.”
Oleh karena itu, harus terlebih dahulu ditelusuri apakah hak atas tanah yang dihibahkan oleh Ibu kepada Anak tersebut adalah harta yang asalnya dari harta anak yang dihibahkan oleh Kakek. Selanjutnya, hibah dari ibu kepada anak tersebut pada dasarnya hanya dapat dilakukan apabila harta tersebut benar-benar adalah milik Ibu sebagaimana diatur dalam Pasal 210 ayat (2) KHI. Hibah tersebut juga dapat ditarik kembali oleh Ibu.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan