Pembagian Warisan bagi Saudara Kandung dan Anak Angkat Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat

Photo by Christiane on Pexels

Pertanyaan

Mohon dibantu pertanyaan ini:
  1. Kakak kandung saya janda meninggal bagaimana aturan pembagian waris ke adik-adik nya berjumlah 3 adik, laki-laki 2 orang dan perempuan 1 orang
  2. Kakak saya janda mempunyai anak angkat tapi sudah seperti anak kandung oleh Kakak
Apakah aturan pembagian waris nya sama? Atas perhatian serta bantuannya diucapkan terima kasih.

Ulasan Lengkap

Secara umum, ketentuan pembagian waris diatur berdasarkan hukum waris perdata barat dan islam. Hukum waris perdata barat digunakan bagi Non Islam, sedangkan hukum waris Islam digunakan bagi pemeluk agama Islam. Dalam hal ini, karena dalam pertanyaan saudara tidak menyebutkan apakah yang dimaksud adalah pembagian waris menurut hukum waris perdata barat atau Islam, maka akan dijelaskan dari sudut pandang keduanya baik secara Islam maupun Non Islam.

Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam

Berdasarkan sistem hukum waris islam, secara umum kelompok-kelompok ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 174 ayat (1) butir a sampai dengan b Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibagi menjadi 2, yaitu:

  1. Menurut hubungan darah:
  • Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
  • Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
  1. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

Kemudian merujuk kepada pertanyaan saudara, bagaimana pembagian waris kepada saudara kandung dari kakak saudara yang berjumlah 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan serta anak angkatnya. Mengenai saudara kandung, bahwa pada dasarnya saudara kandung tidak dapat mendapatkan bagian waris sesuai dengan Prinsip Hijab Mahjub sebagaimana diatur dalam Pasal 182 KHI. Namun karena dalam pertanyaan saudara tidak mengatakan apakah pewaris memiliki anak kandung atau tidak dan pada saat pewaris meninggal dunia apakah meninggalkan ayah atau tidak. Oleh sebab itu, kami mengasumsikan bahwa pewaris tidak mempunyai anak kandung dan pada saat pewaris meninggal dunia tidak meninggalkan ayah, begitu juga dengan ibunya. Dengan demikian, pewaris hanya meninggalkan 2 saudara laki-laki, 1 saudara perempuan, dan anak angkat.

Masih mengenai saudara kandung, bahwa dalam perkara in casu, saudara kandung termasuk ke dalam kelompok ahli waris ashabah[1].[2] Sebab, pewaris tidak meniggalkan anak maupun ayah pada saat meninggal. Dengan demikian, bagian waris dari saudara kandung merupakan sisa dari harta peninggalan dengan ketentuan bagian untuk saudara laki dan perempuan itu berupa 2 : 1. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 182 KHI yang berbunyi:

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”

Selanjutnya berkaitan dengan anak angkat, bahwa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengacu pada Pasal 174 KHI golongan ahli waris dibagi menjadi 2, yaitu menurut hubungan darah dan hubungan perkawinan. In casu a quo, anak angkat tidak termasuk ke dalamnya. Konsekuensi lebih lanjutnya, anak angkat tidak dapat diangkat sebagai ahli waris yang dapat menerima harta warisan dari kakak saudara. Namun demikian, anak angkat tetap dapat menerima harta warisan melalui mekanisme wasiat wajibah. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 209 KHI yang berbunyi: “terhadap orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat atau orang tua angkatnya”. Lebih lanjut lagi, bahwa Mahkamah Agung menjelaskan pemberian wasiat wajibah tersebut diberikan oleh Pengadilan Agama secara ex officio maksimal 1/3 bagian dari harta warisan.[3]

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak angkat akan mendapatkan 1/3 bagian dari harta warisan, sedangkan saudara kandung nantinya akan memperoleh 2/3 dari harta warisan dengan ketentuan 2:1 bagi saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan. Adapun, nantinya penentuan untuk menjadi ahli waris dan bagian atas harta warisan dapat dimintakan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk diperoleh penetapannya.[4]

Pembagian Warisan Menurut Hukum Perdata Barat

Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) membagi ahli waris menjadi 4 golongan, yaitu Golongan I, Golongan II, Golongan III, dan Golongan IV. Lebih lengkapnya mengenai siapa saja yang termasuk ke dalam golongan ahli waris tersebut dapat dilihat dalam artikel berjudul “Apakah Paman, Bibi, dan Sepupu Dapat Menjadi Ahli Waris?”. Adapun, arti penting dari penggolongan tersebut adalah saling menutup tempat berdasarkan urutannya. Maksudnya adalah apabila ahli waris golongan I masih ada, maka ahli waris golongan selanjutnya tidak dapat menjadi ahli waris.

Merujuk kepada pertanyaan saudara, lantas bagaimana dengan kedudukan saudara kandung dalam sistem hukum waris perdata barat. Dalam hal ini, saudara kandung termasuk ke dalam ahli waris golongan II sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Kembali seperti asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa karena saudara tidak menjelaskan apakah kakak kandung saudara meninggalkan anak kandung atau orang tua kandung, maka kami asumsikan bahwa pewaris tidak meninggalkan anak kandung maupun orang tua kandung. Dengan demikian, pewaris hanya meninggalkan saudara kandung dan anak angkat. Oleh sebab itu, porsi bagian dari saudara kandung baik itu laki-laki maupun perempuan adalah seluruh harta warisan dari pewaris dengan bagian yang sama tanpa membedakan jenis kelamin dan mana yang lahir terlebih dahulu. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 856 KUH Perdata yang berbunyi:

“Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau istri, sedang ayah dan ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka saudara laki-laki dan perempuan mewarisi seluruh warisannya”.

Selanjutnya berkaitan dengan anak angkat, sama halnya dengan sistem hukum waris islam, pewarisan terhadap anak angkat tidak diatur dalam KUH Perdata. Dengan demikian, anak angkat tidak tergolong sebagai ahli waris. Namun, anak angkat tetap dapat memperoleh bagian dari harta warisan melalui hibah wasiat.[5] Adapun, pemberian hibah wasiat itu sendiri diatur dalam Pasal 957 KUH Perdata yang berbunyi: “hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua
barang-barangnya dari macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barang-barangnya”.

Sebagai tambahan, bahwa pemberian hibah wasiat kepada anak angkat harus memperhatikan legitime portie dari ahli waris yang sah. In casu a quo, pemberian hibah wasiat kepada anak angkat juga harus memperhatikan bagian waris dari saudara kandung kakak saudara. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 972 KUH Perdata yang berbunyi:

bila warisan tidak seluruhnya atau hanya sebagian diterima, atau bila warisan itu diterima dengan hak khusus atas pemerincian harta peninggalan, dan harta yang ditinggalkan ini tidak mencukupi untuk memenuhi hibah-hibah wasiat seluruhnya, maka hibah-hibah wasiat itu  harus dikurangi, sebanding dengan besarnya masing-masing, kecuali bila pewaris telah menetapkan lain mengenai hal itu”.

[1] Ahli waris ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal Sjafi’I adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Lihat dalam Ahmadi Miru, et al., 2013, Hukum Perdata Materiil dan Formil, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 235.

[2] Mahkamah Agung  Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi, Mahkamah Agung, Jakarta, hlm. 174.

[3] Ibid, hlm. 173.

[4] Pasal 49 huruf b jo. Penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

[5] Gunawan dan M.R.D. Putranto, “Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Berdasarkan Hukum Waris di Indonesia”, Media Iuris, Vol. 3, No. 3, Juni 2020, hlm. 161.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan