BAGIAN WARISAN ANAK ANGKAT YANG TERCATAT SEBAGAI ANAK KANDUNG DI AKTA KELAHIRAN

Photo by Cottonbro on Pexels

Pertanyaan

Saudara laki-laki saya dan istrinya sudah meninggal dunia, semasa hidup ia tidak mempunyai anak kandung lalu memutuskan untuk mengambil anak angkat. Permasalahannya anak tersebut dibuatkan akta kelahiran sebagai anak kandung. Karena mempunyai akta kelahiran, akibatnya harta waris saudara saya secara keseluruhan jatuh ke tangan keponakan saya. Sebagai ahli waris yang sah apa yang bisa saya dan saudara kandung saya yang lainnya lakukan untuk mendapatkan hak saya sebagai ahli waris yang sah mengingat tidak seharusnya anak angkat mendapatkan semua harta warisan?

Ulasan Lengkap

Pengangkatan anak banyak terjadi di masyarakat, terutama pada pasangan yang belum mempunyai keturunan setelah lama menikah. Secara umum, terdapat ketentuan pembagian waris terkait pengangkatan anak berdasarkan Islam dan Non Islam. Karena dalam pertanyaan anda tidak menyebutkan apakah yang dimaksud adalah pembagian waris terhadap anak angkat secara Islam atau Non Islam, maka akan dijelaskan dari sudut pandang keduanya baik secara Islam maupun Non Islam.

1. Pembagian Warisan Anak Angkat Secara Islam

Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) menyatakan bahwa:

“Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa secara islam hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat hanya sebatas mengalihkan tanggung jawab pemberian nafkah dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Terkait hubungan antara anak dengan orang tua angkat tidak akan pernah menghapuskan hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, termasuk jika seorang anak perempuan menjadi anak angkat, maka wali nikahnya tetap berada pada ayah kandung. Selain itu, dalam hal kewarisan anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris. Akan tetapi apabila saudara laki-laki anda sebagai orang tua angkat ingin memberikan sebagian hartanya kepada anak angkatnya sebagai tanda kasih sayangnya maka hal tersebut diatur dalam Pasal 209 KHI yang menyatakan bahwa:

“(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Mengangkat anak menurut pandangan hukum islam hukumnya adalah “mubah” atau yang berarti boleh. Pengangkatan anak menjadi dilarang dalam Islam ketika hal tersebut dilakukan dengan mengangkatnya secara mutlak sebagai anak kandung, seperti memberikan hak waris sepeninggalnya dan melarang kawin dengan keluarganya.[1] Hal tersebut berarti bahwa secara islam, tindakan saudara laki-laki anda yang menganggap anak angkatnya sebagai anak kandung, menurut hukum islam adalah dilarang.

Asal-usul keponakan anda sebagai seorang anak angkat atau anak kandung secara hukum dapat dibuktikan melalui adanya akta otentik yang menyatakan apakah keponakan anda merupakan anak angkat atau sebagai anak kandung. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 103 KHI yang menyatakan bahwa:

“(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

  (2) Bila akta kelahiran alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

  (3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.”

Status keponakan anda sebagai anak angkat membuatnya tidak bisa menjadi ahli waris melainkan sebagai penerima wasiat wajibah. Akan tetapi, keberadaan akta kelahiran yang menyatakan keponakan anda sebagai anak kandung saudara anda membuat kedudukan keponakan anda secara hukum menjadi satu-satunya ahli waris yang sah. Hal tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 174 KHI yang menyatakan bahwa jika kelompok ahli waris menurut hubungan darah dan kelompok ahli waris menurut hubungan perkawinan masih hidup semua maka yang berhak mendapat warisan hanya anak dan ayah atau ibu. Dalam hal ini karena ayah dan ibu sudah meninggal maka sebagai anak satu-satunya keponakan anda berhak untuk mendapat seluruh warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Apabila anda dapat membuktikan status keponakan anda sebagai anak angkat, maka sesuai amanat Pasal 209 KHI keponakan angkat anda hanya dapat menerima 1/3 harta warisan melalui wasiat wajibah sedangkan sisa harta warisan menjadi hak dari ahli waris yang sah yaitu anda, saudara kandung anda yang lainnya, dan orang tua anda jika masih hidup.

2. Pembagian Warisan Anak Angkat Secara Non Islam

Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (selanjutnya disebut PP 54/2007) menyatakan bahwa:

“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, Pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, konsep pengangkatan anak secara Non Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep pengangkatan anak secara Islam. Sama halnya dengan pengertian yang tercantum dalam KHI, PP 54/2007 juga menganggap bahwa pengangkatan anak hanya mengalihkan tanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Hal tersebut tidak dapat menghapuskan hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Terkait dengan bagian warisan anak angkat secara Non Islam, ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer). Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah waris anak angkat Non Islam tercantum dalam Pasal 957 KUHPer yang menyatakan bahwa:

“Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.”

Pemberian hibah wasiat harus dibuktikan dengan akta hibah yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang dan atas persetujuan ahli waris yang sah, dimana surat persetujuan tersebut harus dilegalisir oleh Notaris. Hal tersebut bertujuan agar pemberian hibah wasiat dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan hak ahli waris yang sah, sehingga tidak merugikan anak angkat maupun legitime portie ahli waris yang sah. Besarnya legitime portie (hak mutlak yang seharusnya diberikan pewaris) diatur dalam Pasal 921 KUHPer. Legitime Portie atau bagian mutlak untuk ahli waris dalam garis kebawah diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata, sedangkan bagian mutlak untuk ahli waris dalam garis keatas diatur dalam Pasal 915 KUHPer. Jika bagian mutlak tidak diberikan maka ahli waris dapat mengacu pada ketentuan Pasal 972 KUHPer yang menyatakan bahwa:

“Apabila warisan tidak seluruhnya atau sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibah itu dalam keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya.”

Pasal 40 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU 23/2002) menyatakan bahwa:

“(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya;

  (2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.”

Keponakan anda yang sudah mengetahui statusnya sebagai anak angkat meskipun telah mempunyai akta kelahiran membuktikan bahwa saudara anda tidak melanggar ketentuan pasal tersebut. Guna membuktikan asal-usul anak secara Non Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU 1/1974) mengaturnya dalam Pasal 55, dimana bunyi pasal tersebut kurang lebih sama dengan bunyi Pasal 103 KHI, yaitu melalui akta otentik berupa Akta Kelahiran.

Akta kelahiran mempunyai kedudukan sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna jika diperlukan dalam suatu upaya hukum. Hal tersebut sesuai dengan amanat Pasal 1870 KUHPer, dimana isi Akta Kelahiran sebagai akta otentik akan dianggap benar kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran, dimana hal tersebut sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU 35/2014). Sedangkan pembuatan akta kelahiran bagi anak angkat dilakukan setelah seluruh prosedur pengangkatan selesai dan dibuatkan akta kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas awal anak sebagai anak kandung dari orang tua kandung. Sesuai dengan pengaturan tersebut, pembuatan akta kelahiran tanpa mencantumkan nama orang tua kandungnya tidak dapat dibenarkan karena menghilangkan identitas awal anak. Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka pihak yang memalsukan surat dan/atau dokumen dalam melaporkan peristiwa kependudukan dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

3. Kesimpulan

Pengakuan anak angkat sebagai anak kandung akan merugikan ahli waris yang sah lainnya. Karena adanya akta kelahiran yang membuktikan bahwa keponakan anda diakui sebagai anak kandung secara hukum, yang membuat hak waris secara penuh jatuh ke tangan keponakan anda.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kasus tersebut adalah dengan mengajukan permohonan penetapan anak angkat ke Pengadilan Negeri bagi yang beragama non Islam dan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Karena dalam kasus ini saudara anda dan istrinya sudah meninggal dunia, maka permohonan perubahan akta tersebut dapat diajukan oleh keponakan anda atau orang lain yang mendapat kuasa darinya. Adapun syarat perubahan akta kelahiran kurang lebih meliputi Kartu Keluarga dimana anak tersebut terdaftar sebelumnya; fotokopi KTP orangtua kandung; serta Surat Keterangan Lahir dari Rumah Sakit/ Klinik/ Bidan/ orang yang membantu persalinan (jika tidak ada maka dapat menggunakan surat tanggungjawab mutlak data kelahiran/ SPTJM). Langkah selanjutnya yaitu mengajukan data ke Dinas Sosial dan mengajukan ke Pengadilan Negeri atau ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan tentang pengangkatan anak. Atas dasar penetapan pengadilan tersebut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa mengeluarkan akta kelahiran anak angkat, dimana dalam akta kelahiran terdapat keterangan status anak telah di adopsi oleh orang tua angkat dan tercantum pula nama orang tua kandungnya.[2]

Apabila cara tersebut tidak dapat ditempuh karena terkendala orang tua angkat telah meninggal dunia dan/atau keponakan anda menolak untuk melakukan perubahan data meskipun telah mengetahui identitas aslinya, maka anda dapat mengajukan gugatan tentang status keahliwarisan sesuai amanat Pasal 834 KUHPer yang menyatakan bahwa:

“Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya.

Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.”

Terkait kasus yang sedang anda hadapi, untuk membuktikan bahwa ahli waris yang sah bukanlah keponakan anda melainkan anda dan saudara kandung anda yang lainnya, diperlukan saksi dan bukti yang kuat guna meyakinkan hakim dalam mempertimbangkan keabsahan akta kelahiran dan status keponakan sebagai anak angkat yang namanya ditulis sebagai anak kandung dalam akta kelahiran.

[1] M. Luthfi Mustahdi, “Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Studi Kasus di Kecamatan Medan Denai)”, Skripsi Fakultas Syar’iah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2018. Hal. 17.

[2] Sumarno, S.H., M.H. (Penyuluh Hukum Madya), “Berdasarkan Pertanyaan Erfitriani: Anak Angkat yang Berstatus Anak Kandung”, Legal Smart Channel (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=1872

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan