Akibat Hukum Jual Beli Tanah Waris Tanpa Persetujuan Ahli Waris Yang Berhak
Pertanyaan
Tanah milik almarhum kakek saya dijual oleh orang yang tidak memiliki hak dan tanpa sepengetahuan ahli waris yang sah. Apakah kasus ini dapat di pidanakan?Ulasan Lengkap
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, dikarenakan dalam pertanyaan tersebut tidak disebutkan status tanah apakah sudah bersertifikat atau masih berupa Petok D, dan juga tidak dijelaskan siapa saja yang menjadi ahli waris dan siapa pihak penjual, maka dalam menjawab pertanyaan tersebut kami terlebih dahulu mengasumsikan bahwa tanah tersebut sudah bersertifikat dan pihak penjual bukan salah satu dari ahli waris. Adapun pertanyaan tersebut juga akan dijawab menggunakan 2 (dua) sudut pandang hukum waris, yaitu secara umum jika beragama selain islam dengan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan secara khusus jika beragama islam dengan berdasarkan pada Kompilasi Hukum Islam.
Dalam perkara penjualan tanah waris yang sengaja diperjualbelikan tanpa sepengetahuan atau persertujuan si ahli waris yang berhak atas tanah tersebut, perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sesuai Buku ke-II Bab XXV Tentang Perbuatan Curang (bedrog) Pasal 385 ke-1 KUHP yang berbunyi:
“Diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun:
barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan credit verband sesuatu hak tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa yang mempunyai hak atasnya adalah orang lain”
Untuk dapat memidanakan penjual tersebut yang dianggap melanggar Pasal 385 ke-1 KUHP, harus dibuktikan memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Unsur subjektif dalam pasal ini adalah:
- “dengan maksud”, yang mana unsur tersebut dapat diartikan dengan “sengaja”.
- “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”, yang berarti bahwa dengan tindakan yang diketahuinya tidak patut untuk dilakukannya tersebut, orang tersebut memperoleh pertambahan nilai kekayaan dan/atau profit.
Sedangkan unsur objektif dalam pasal tersebut diantaranya adalah:
- “menjual, menukarkan, atau membebani dengan credit verband sesuatu hak tanah Indonesia, sesuatu Gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah dengan hak Indonesia”, yang dengan demikian harus dapat dibuktikan bahwa diatas obyek tersebut telah terdapat hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”), yang dengan demikian apabila tanah tersebut masih dalam status Petok D maka tentu tidak dapat masuk dalam unsur Pasal 385 ke-1.
- “padahal diketahui bahwa yang mempunyai hak atasnya adalah orang lain”, yang dengan demikian harus dibuktikan bahwa penjual tersebut memang tidak memiliki hak atau dibuktikan bahwa bukan penjual tersebut yang memiliki hak melainkan kakek saudara-lah yang memiliki hak atau ahli warisnya apabila yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Dengan demikian, untuk memidanakan pihak yang Saudara sebut tidak memiliki hak untuk menjual bidang tanah tersebut, maka harus dapat dibuktikan bahwa pihak yang Saudara sebut tidak memiliki hak atas tanah tersebut telah “menjual” atas “ hak atas tanah” yang diketahui bahwa tanah tersebut adalah “hak orang lain” atau dalam hal ini adalah hak para ahli waris, sehingga dari unsur-unsur tersebut dapat dibuktikan bahwa penjual bersalah dan dapat dipidanakan.
Disamping dengan pidana, untuk membatalkan jual beli dan mendapatkan kembali haknya, pihak yang memiliki hak harus pula mengajukan gugatan perdata, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyelesaian Hukum Ahli Waris untuk Non-Muslim
Dalam hal apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 833 ayat (1) jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata
“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Bila ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti tersebut di atas, maka Hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan itu ditaruh lebih dahulu dalam penyimpanan Pengadilan. Negara harus berusaha agar dirinya ditempatkan pada kedudukan berkuasa oleh Hakim, dan berkewajiban untuk memerintahkan penyegelan harta peninggalan itu, dan memerintahkan pembuatan perincian harta itu, dalam bentuk yang ditetapkan untuk penerimaan warisan dengan hak istimewa akan pemerincian harta, dengan ancaman untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.”
Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata
“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.”
Apabila ahli waris yang memperoleh warisan berupa tanah tersebut telah ditetapkan baik berdasar pada Penetapan Pengadilan Negeri maupun Akta Notaris, maka sebelum dilakukannya perjanjian jual beli para ahli waris harus mengurus balik nama karena pewarisan. Setelah pengurusan balik nama, ahli waris dapat melakukan pendaftaran pemindahan hak atas tanah dengan memenuhi syarat formil yaitu harus dibuktikannya dengan akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat yang berwenang (Lurah/Camat). Kemudian dalam melakukan perjanjian jual beli dengan objeknya adalah harta warisan, para ahli waris harus memperlihatkan Surat Keterangan Kematian Pewaris yang ditindaklanjuti dengan Akta Kematian, Surat Keterangan Waris, dan seluruh ahli waris harus menunjukkan identitasnya ketika menghadap PPAT.
Setiap pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian harus melandasinya dengan itikad baik. Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya, dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan substansi perjanjian/kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Jika kemudian ditemukan adanya itikad baik dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, baik dalam pembuatan maupun dalam pelaksanaan perjanjian maka pihak yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum. Namun dalam perkara ini, jika memang pihak penjual tersebut dapat dibuktikan tidak memiliki hak apapun untuk menjual tanah tersebut, dan jika sampai pihak penjual tidak beritikad baik menyelesaikan perkara tersebut, maka ahli waris dapat mengajukan gugatan.
Seperti yang disebutkan dalam Pasal 834 KUHPerdata yaitu ahli waris mempunyai hak untuk mengajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagian harta warisan itu dengan atas hak ataupun tanpa atas hak, beserta menyerahkan segala penghasilan, pendapatan, dan ganti ruginya. Selain itu dalam Pasal 1471 KUHPerdata juga menyebutkan:
“Jual beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”
Berdasarkan Pasal 1471 KUHPerdata jika jual beli tersebut terjadi dan tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai pemiliknya sebagai bentuk persetujuan jual beli, maka jual beli tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa jual beli tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.
Selain itu, dalam suatu perjanjian jual beli disebutkan juga syarat-syarat sahnya terjadinya perjanjian jual beli yang termaktub dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya orang yang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani serta rohani dianggap cakap menurut hukum
- Suatu hal tertentu, artinya dalam membuat perjanjian obyek dari perjanjian harus disebutkan secara jelas
- Suatu sebab yang halal, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dengan demikian, jika salah satu syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian jual beli tersebut dinyatakan batal demi hukum dan tidak sah, dan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri tempat bidang tanah tersebut berada, dengan terlebih dahulu Para Ahli Waris memiliki penetapan ahli waris baik dari Pengadilan Negeri maupun dari Akta Notaris.
2. Penetapan Ahli Waris untuk Muslim
Dalam hal pembagian ahli waris untuk muslim dapat mengacu pada Kompilasi Hukum Islam seperti yang disebutkan dalam Pasal 174 KHI bahwa ahli waris dikelompokkan ke beberapa golongan, yaitu:
a. Menurut hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dalam pasal 188 KHI menyebutkan bahwa para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. Perkara yang berkaitan dengan kewarisan islam dapat diselesaikan melalui Peradilan Agama sesuai kewenangannya yang disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
Oleh karena itu, apabila para ahli waris akan mengajukan gugatan dan pewaris beragama Islam serta seluruh ahli waris setuju untuk menggunakan hukum Islam, maka Para Ahli Waris harus terlebih dahulu memiliki penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama setempat. Namun dalam penyelesaian tentang jual beli, tetap mengacu pada peraturan UUPA dan peraturan pelaksanaannya serta KUHPerdata.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan