Ketentuan Jual Beli Tanah Saat Pemilik Masih Hidup

image by artisteer on istockphoto.com

Pertanyaan

Kakek saya masih hidup, sudah tua dan linglung tidak memungkinkan untuk diajak komunikasi, kakek saya memilki adik kandung, dan adik kandung dari kakek saya memiliki anak, sebutlah itu bibik saya. Bibik saya ingin menjual tanah kakek saya, bisakah penjualan tersebut di hentikan oleh saya? Sedangkan saya adalah Cucu yang bukan ada golongan darah, tak lain Ibu saya di angkat sebagai anak kandung oleh kakek saya, dan tertulis juga di akta kelahiran sebagai akta anak kandung, tetapi ibu saya sudah meninggal.pertanyaan ke 2, Jika tanah tersebut yang dijual apakah saya mendapatkan bagian?

Ulasan Lengkap

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka hal yang patut dicermati dari kasus posisi di atas yakni bahwa pemilik dari tanah tersebut yakni kakek masih hidup, sehingga apabila mendasari terkait konteks permasalahan di atas terkait perbuatan penjualan tanah milik kakek tersebut, maka patut dipertanyakan apakah memang ada surat yang menunjukkan peralihan hak atas tanah dalam bentuk waris, wasiat, atau hibah. Akan tetapi mengingat kakek sebagai pemilik dari tanah tersebut masih hidup maka yang patut dipertanyakan apakah ada akta notaris yang menyatakan perbuatan (mengingat kakek tersebut masih hidup) penyerahan hak atas tanah dalam hal ini berbentuk hibah/hadiah atau surat kuasa menjual. Apabila terdapat hibah maka digunakan pasal 1682 KUHPerdata sebagai dasar hukum dan harus diperiksa kembali mengenai keabsahan hibah tersebut. Tetapi apabila tidak ada, maka seharusnya penjualan tersebut tidak dapat dilakukan dan tidak berdasar hukum sehingga batal demi hukum. Adapun hukum waris atau tentang pewarisan tidak digunakan dalam hal ini mengingat pertanyaan Saudara menyatakan bahwa kakek masih hidup, sehingga hak waris maupun hak wasiat tidak berlaku. Oleh karena itu perlu diperiksa kembali apakah terdapat akta hibah dari kakek kepada bibik.

Berkaitan dengan pertanyaan apakah bisa menghentikan perbuatan penjualan tanah tersebut dalam hal posisi Saudara sebagai cucu yang tidak memiliki hubungan darah dengan pihak kakek, maka jawabannya adalah tidak. Hal tersebut dikarenakan pihak kakek tersebut masih hidup sehingga perbuatan jual beli tanah tersebut hanya bisa sah apabila didasarkan pada akta notaris penghibahan hak atas tanah antara kakek dan bibi sebagaimana diatur pada pasal 1682 KUHPerdata, atau didasarkan pada kuasa menjual. Apabila telah dapat dibuktikan bahwa terdapat peralihan yang sah dari kakek kepada bibi baik dalam bentuk hibah atau dapat dibuktikan adanya kuasa menjual, maka bibi memiliki hak untuk melakukan penjualan tanah. Namun demikian, apabila tidak dapat dibuktikan bibi telah memiliki hak untuk menjual tanah tersebut, maka bibi dapat dilaporkan dengan pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP.

Selanjutnya mengingat kakek sudah tua, maka juga harus diperhatikan apakah terdapat penetapan pengampuan atas kakek Saudara. Pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan

Apabila kakek Saudara memenuhi kriteria di atas, maka ada kemungkinan kakek Saudara dalam keadaan diampu, dimana kakek Saudara sebagai “terampu” dan pihak keluarga yang ditunjuk oleh penetapan pengadilan sebagai “pengampu”. Pengampuan dapat dimintakan oleh saudara sedarah atau keluarga sedarah dari terampu, dan pengampu dapat berasal dari keluarga yang dekat dengan kakek. Setelah adanya pengampuan tersebut, maka kakek Saudara sebagai “terampu” tidak dapat melaksanakan jual beli atau pengurusan terhadap segala harta yang dimilikinya. Pengurusan tersebut hanya dapat dilakukan oleh “pengampu” yang kemudian segala tindakannya dilaporkan kepada Balai Harta Negara. Oleh karena itu, apabila bibi Saudara berkedudukan sebagai pengampu kakek Saudara, maka tentuya bibi Saudara memiliki hak untuk melakukan penjualan tanah tersebut.

Di samping itu, harus pula disoroti terkait pencantuman nama anak angkat sebagai anak kandung dalam akta kelahiran. Apabila melihat dari segi hukum maka hal tersebut dapat diduga sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP terkait dengan memberikan keterangan palsu dalam akta otentik. Hal tersebut dikarenakan pengangkatan anak tidak dapat memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orangtua kandungnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Oleh karena itu, anak kandung dari kakek ataupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dapat mengajukan pembatalan terhadap akta kelahiran ibu Saudara.

Menjawab pertanyaan kedua, terkait apakah Saudara sebagai cucu dari kakek yang mengangkat ibu Saudara sebagai anak angkat berhak mendapat sesuatu, maka jawabannya harus terlebih dahulu melihat kondisi akta kelahiran ibu Saudara. Bila akta kelahiran Ibu Saudara tidak pernah dibatalkan, maka akta kelahiran tersebut adalah bukti surat yang kuat yang membuktikan bahwa Ibu Saudara adalah anak kandung kakek. [1] Dalam hal terdapat fakta demikian, maka Saudara berhak memperoleh harta waris sebesar bagian yang seharusnya diperoleh Ibu Saudara, sebab Saudara berkedudukan sebagai ahli waris pengganti. Mengenai porsi atau besaran yang Saudara peroleh, maka hal tersebut harus terlebih dahulu disesuaikan dengan agama yang Saudara dan pewaris anut, pewaris dalam hal ini adalah kakek. Hal tersebut untuk menentukan apakah yang digunakan adalah hukum waris Islam atau hukum waris KUHPerdata.

Namun demikian, apabila di akta kelahiran Ibu Saudara hanya terdapat catatan pinggir bahwa kakek adalah ayah angkat Ibu Saudara, atau bahkan jika terdapat pembatalan akta kelahiran Ibu Saudara, maka yang akan Saudara peroleh dari kakek setelah kakek meninggal hanya berupa hibah wasiat. Besaran nilai hibah wasiat yang dapat Saudara peroleh yakni 1/3 dari total harta kakek sejak kakek meninggal. Kata “dapat” dalam kalimat sebelumnya artinya hak untuk memberikan ada pada kakek Saudara, dan Saudara tidak bisa memaksa kakek untuk memberikannya pada Saudara. Adapun jika yang Saudara peroleh nantinya melebihi 1/3 dari total harta kakek, maka para ahli waris lainnya dapat membatalkan hibah wasiat tersebut dikarenakan para ahli waris memiliki hak berupa legitime portie[2]

[1] Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974

[2] Legitimie Portie =Bagian Warisan

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan